Klik "ide judul blog" untuk membaca tulisan ide dari judul blog...

Jumat, 25 April 2014

Masalah Kita

Sebuah Playstation, awal dari kesadaranku bahwa teknologi telah berkembang. Saat itu, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Orang tuaku membeli sebuah Playstation 1 buat saya dan saudara(i)ku di rumah. Saat itu, Playstation adalah sebuah teknologi yang populer di lingkungan tempatku tinggal.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Playstation adalah sebuah teknologi untuk hiburan. Berbagai permainan dapat dimainkan dengan Playstation, seperti permainan bertemakan adventure (seperti: Legend of Legaia, Suikoden, Final Fantasy), action (seperti: Delta Force, Fighting Force, Medal of Honor), fighting (seperti: Guilty Gear, Bloody Roar, Tekken), dan tema-tema lainnya. Hal tersebut tentunya sangat menarik dan menghibur. Namun, dampak buruknya lebih besar. Saya masih ingat perkataan ayahku: “Jangan sampai diperbudak oleh teknologi !”. Perkataan ayahku itu ada benarnya. Saya melihat orang-orang duduk berjam-jam di depan Playstation, karena mereka memang telah diperbudak oleh teknologi, dan salah satu dari mereka adalah saya. Masa kepopuleran Playstation itulah awal dari kesadaranku bahwa memang teknologi telah berkembang.

Tidak hanya Playstation, dalam dunia publikasi, teknologi juga telah mengalami perkembangan. Saya masih ingat, ketika itu saya masih berada di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itu adalah masa kepopuleran internet yang disediakan oleh warung-warung yang dikenal dengan istilah warung internet atau warnet. Namun, lagi-lagi dampak buruk teknologi lebih besar bahkan sangat mengkhawatirkan. Memang, dengan internet kita dapat terhubung dengan orang-orang dari berbagai budaya, berbagai bahasa, bahkan untuk mencari jodoh. Namun dengan internet, akses terhadap pornografi menjadi mudah.

Orang-orang menjadi mudah mengakses pornografi, bahkan tanpa dicari sekalipun. Pada situs-situs bertemakan download gratis juga pornografi dapat terakses. Pada situs tersebut, saat kita mengklik tombol download, terkadang kita dialihkan (redirecting) secara otomatis ke sebuah halaman yang bergambar porno. Kemudahan akses pornografi tersebut menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan, utamanya pada anak-anak, dan kekhawatiran tersebut telah menjadi realita.

Mengutip dari sebuah buku yang berjudul “Nikah”, terdapat sekumpulan anak-anak berumuran kelas 4 – 6 SD yang didampingi oleh para konselor remaja. Tujuan dari pendampingan tersebut adalah untuk membantu anak-anak tersebut menghadapi masa-masa pubertasnya. Namun sungguh mengejutkan tatkala mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Saya masih ingat sewaktu masih kecil dulu (seperti mereka), yang menjadi topik bahasan saat berkumpul dengan teman-teman adalah permainan-permainan dalam Playstation, film-film kartun, dan sedikit soal pelajaran. Namun pertanyaan-pertanyaan yang anak-anak tersebut ajukan kepada para konselor remaja sungguh mengejutkan. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan adalah: “Bagaimana cara ngesex yang baik ?”, “Berapa kali seminggu dalam melakukan sex ?”, “Puaskah memakai alat kontrasepsi ?”, “Bagaimana memasukkan penis yang baik dan benar ?”, “Bagaimana melayani cewek yang gila sex ?”. Fenomena tersebut adalah akibat dari mudahnya akses terhadap pornografi. Kemudahan akses pornografi telah menjadi masalah yang serius hingga saat ini.

Memang, hawa nafsu seks adalah naluri dasar manusia. Namun, beriringan dengan hal tersebut, kita juga diberi akal agar tidak melampaui batas. Mengutip perkataan Prof.Dr.Mutjaba Musawi Lari yang mengatakan bahwa: “Di awal kehidupan ini, setiap orang meyakini dalam hatinya bahwa kesucian dan penahanan hawa-nafsu dalam hal seks memiliki nilai moral tersendiri dan pelampauan nilai moral tersebut akan menyebabkan degradasi moral. Namun kebenaran ini perlahan-lahan telah dilupakan atau bahkan sengaja dimusnahkan dari keyakinan hati nurani manusia dengan cara berbagai perusakan”. Degradasi moral yang dimaksud tersebut telah terbukti di negara-negara barat. Negara-negara barat yang menganut paham liberal, paham yang mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, telah mengalami degradasi moral. Negara-negara tersebut adalah negara maju dalam hal teknologi dan sains, namun banyak penyimpangan seksual yang terjadi. Mengutip data dari sebuah buku dikatakan bahwa: “Data statistik tahun 1957 menunjukkan bahwa angka kelahiran di luar nikah di AS sebanyak 200.000 kelahiran. Dalam waktu dua puluh tahun, meningkat sebesar 5%” (Jurnal Teheran dalam Musawi Lari, 2010: 62-63). Fenomena selanjutnya, “Angka aborsi setiap tahunnya di AS lebih dari 1.000.000. Sebanyak 65% dari total seluruhnya disebabkan hubungan bebas di luar ikatakan perkawinan dan 50% di antaranya dikarenakan masih gadis belasan tahun yang belum menikah” (Black, White No.380 dalam Ibid, hlm.63). Hal tersebut menandakan bahwa perkembangan teknologi tidak berbanding lurus dengan peningkatan moral.

Mengenai hal tersebut, Stephen R Covey dalam bukunya yang berjudul “The 8th Habbit” mengatakan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, bukan penemuan-penemuan teknologi yang akan mengisi sejarah kita, namun lebih kepada perubahan dalam hal moralitas. Jika melihat perkembangan kita, maka perkembangan dalam hal teknologi dapat dikatakan perkembangan yang sungguh mengagumkan sehingga patut tertulis dalam catatan sejarah kita. Sebagai contoh: telepon genggam (HP). Sebelum adanya HP, orang-orang menulis surat kemudian mengirimnya dengan menggunakan jasa kantor pos sehingga untuk sampai ke tujuan, kita harus menunggu relatif lama. Namun setelah ditemukannya HP, untuk mengirim surat, kita hanya cukup dengan mengirim SMS ke alamat tujuan yang hanya membutuhkan waktu singkat untuk pesan tersebut sampai ke penerima. Contoh lain adalah komputer mobile (laptop). Sebelum adanya laptop, kita hanya dapat bekerja (mengetik) di rumah, namun dengan adanya laptop, kita telah dapat bekerja (mengetik) secara mobile (seperti halnya kita dapat menginput data di lapangan). Perkembangan teknologi tersebut patut tertulis dalam sejarah kita, akan tetapi karena sangat terasanya perubahan moral, maka sejarah perkembangan teknologi tersebut ditenggelamkan oleh sejarah perubahan moral.

Mengutip perkataan Dr. Randall F.Hyde, Ph.D, seorang psikolog senior Amerika: “Percayalah pornografi adalah suatu bencana yang kami sendiri keteteran. Negara kami dapat mempersiapkan perang, dengan senjata dan tentara. Negara kami bisa menghadapi penyakit dengan temuan obat-obat dengan penelitian ilmuwan kami. Tapi untuk pornografi, percayalah, pada awalnya kami tidak siap dan tidak tahu cara apa yang harus dilakukan untuk melawannya”. Perkataan psikolog senior Amerika tersebut menekankan bahwa pornografi memang adalah masalah serius. Banyak dampak negatif yang diakibatkan olehnya. Dalam beberapa artikel di website-website yang membahas soal pornografi, dijelaskan secara rinci dampak buruk pornografi. Berdasarkan artikel-artikel tersebut, pornografi akan berdampak pada hormon Dopamine, hormon Neuropiniphrin, hormon Serotonin, dan hormon Oksitosin yang terdapat dalam tubuh. Ketika hormon-hormon tersebut telah terjangkit oleh pornografi, maka kemungkinan besar akan terjadi penyimpangan seksual, sesuai dengan tujuan (produk akhir) dari pornografi.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah ingin menyampaikan bahwa perkembangan atau kemajuan teknologi tidak berbanding lurus dengan peningkatan moral. Walaupun negara-negara maju (seperti AS) telah mengalami kemajuan teknologi, namun perkembangan/ kemajuan tersebut tidak memberi efek terhadap moral, bahkan menurunkan moralitas penggunanya. Kita dapat menarik nafas legah, karena hal tersebut hanya terjadi di negara-negara maju, tidak di negara-negara berkembang seperti negara kita, Indonesia.