Klik "ide judul blog" untuk membaca tulisan ide dari judul blog...

Rabu, 04 Juni 2014

Percabangan Ilmu dalam Arkeologi

  
sumber foto: http://nexlaip.wordpress.com/2012/07/23/akar-pohon/

Secara garis besar, ilmu terbagi menjadi dua: Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ilmu pengetahuan alam bersifat absolut sedangkan ilmu pengetahuan sosial sebaliknya, bersifat relatif.

Hingga abad ini, terdapat berbagai ilmu baik dari IPA maupun IPS. Beberapa di antaranya adalah Matematika, Geografi, Fisika, Kimia, Sosiologi, Antropologi dan Arkeologi. Ilmu-ilmu tersebut kemudian menjadi bercabang lagi, seperti halnya Matematika mempunyai cabang ilmu: mekanika, peluang, statistika, dll; Geografi mempunyai cabang ilmu: Oseanografi, Meteorologi, Klimatologi, Kartografi, Demografi, dan lain-lain; Fisika mempunyai cabang ilmu: Teknik elektro, kinematika, termodinamika, seismografi, dll. Percabangan ilmu tersebut didasarkan pada empat syarat ilmu, yaitu: obyektif, metodis, sistematis, dan universal. 
Obyektif adalah harus berdasarkan pada obyek. Sebuah ilmu harus mempunyai obyek. Obyek tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu: obyek material dan obyek formal. Dua buah ilmu bisa saja memiliki obyek material yang sama. Sebagai contoh, ilmu kedokteran dan sosiologi. Kedua ilmu tersebut memiliki obyek material yang sama, yaitu manusia. Obyek yang diteliti adalah manusia. Namun yang membedakan antara keduanya adalah obyek formalnya, yaitu sudut pandangnya. Ilmu kedokteran memandang manusia dari segi fisiknya sedangkan sosiologi memandang manusia dari segi interaksinya dengan manusia lain.

Metodis merupakan cara yang sistematis yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dalam ilmu. Selanjutnya, sistematis adalah langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan. Langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan atau penelitian harus tersistematis. Kemudian, universal yang berarti pengetahuan yang dihasilkan oleh ilmu harus bersifat umum, atau berlaku secara luas.

Adapun arkeologi adalah juga sebuah ilmu. Obyek material arkeologi adalah manusia dan budaya. Metode yang khas dari arkeologi adalah ekskavasi. Ekskavasi merupakan suatu kegiatan penggalian yang dilakukan secara sistematis untuk memperoleh data. Data tersebut kemudian menjadi informasi mengenai masa lalu manusia.

Tidak hanya ilmu-ilmu lain, arkeologi pun memiliki percabangan. Cabang dalam arkeologi sekaligus menjadi indikasi bahwa arkeologi juga telah berkembang. Percabangan dalam arkeologi yang dimaksud adalah: arkeologi ruang, arkeoastronomi, etnoarkeologi, arkeologi klasik, arkeologi kolonial, arkeologi Islam, arkeologi sampah, arkeologi bawah air, arkeologi industri, arkeologi Marxisme, dan masih banyak lagi. Namun, secara garis besar, arkeologi terbagi menjadi dua, yaitu: arkeologi prasejarah dan arkeologi sejarah. Arkeologi parasejarah berfokus pada masyarakat dan periode saat belum dikenalnya tulisan sedangkan arkeologi sejarah mengacu pada penyelidikan kepurbakalaan yang dilakukan dalam serangkaian analisis tertulis (Sharer, Ashmore, 1993: 26). Adapun defenisi arkeologi sejarah menurut James Deetz (1997):

Historical archaeology studies the cultural remains of literate societies that were capable of recording their own history. In this respect it contrasts directly with prehistoric archaeology, which treats all of the cultural history before the advent of writing—millions of years in duration (dalam Funari, 2003: 2).

Menurut penulis, jika diklasifikasikan berdasarkan dua pembagian besar dalam arkeologi tersebut, maka cabang-cabang seperti: arkeologi klasik, arkeologi kolonial, dan arkeologi Islam termasuk dalam kategori arkeologi sejarah; dan cabang seperti arkeologi ruang termasuk dalam kategori arkeologi prasejarah. Terdapat perbedaan pola antara perbacabangan dalam arkeologi sejarah dan arkeologi prasejarah. Arkeologi sejarah memiliki pola rangkaian periode (masa klasik, masa kolonial, masa Islam) dalam percabangannya, sedangkan arkeologi prasejarah tidak memiliki pola percabangan.

Selain dua pembagian besar yang telah disebutkan, arkeologi juga memiliki dua pembagian berdasarkan tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah tiga tujuan dalam arkeologi. Ketiga tujuan tersebut adalah merekonstruksi sejarah budaya, merekonstruksi cara-cara hidup, dan menggambarkan proses budaya. Jika suatu penelitian arkeologi memiliki tujuan tidak untuk tiga tujuan arkeologi, misal adalah untuk mengembangkan arkeologi dalam hal metode atau untuk memperkenalkan arkeologi, maka penelitian tersebut bertema arkeologi terapan. Jika suatu penelitian arkeologi memiliki tujuan berdasar pada tiga tujuan arkeologi, maka penelitian tersebut bertema arkeologi murni.

Berdasarkan pembagian tersebut, maka cabang ilmu yang tergolong dalam arkeologi terapan adalah: arkeologi publik dan musiologi. Arkeologi publik bertujuan untuk mempublikasikan arkeologi ke masyarakat. Musiologi bertujuan untuk mengelola data-data arkeologi pada museum. Inti dari pembagian arkeologi berdasarkan tujuan adalah tujuan dari penelitian.

Sejauh cabang-cabang arkeologi yang telah disebutkan, maka arkeologi terbagi menjadi: arkeologi klasik, arkeologi kolonial, arkeologi Islam, arkeologi ruang, arkeologi publik dan musiologi. Selain cabang tersebut, masih banyak lagi cabang ilmu dalam arkeologi. Namun, menurut penulis, banyak dari cabang-cabang arkeologi (selain yang telah disebutkan) masih hanya sebatas wacana. Perkembangannya hanya di luar negeri, belum berkembang di negara Indonesia.