Indonesia pada Zaman Plesitosen
sumber: google.
sumber: google.
Bab I
Lingkungan Alam Sulawesi
Proses
Terbentuknya Pulau Sulawesi
Menarik
apa yang dikatakan penulis buku. Pada awal bukunya dikatakan bahwa uraian
geologi dan sejarah geologi merupakan hal yang sangat mendasar untuk memahami
kebudayaan prasejarah suatu daerah. Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa
keadaan geologi suatu daerah yang sekarang tidaklah sama seperti dulu kala. Hal
tersebut dikarenakan alam itu tidak bersifat statis melainkan bersifat dinamis.
Oleh karena si pemilik kebudayaan (manusia) berinteraksi dengan alam untuk
keberlangsungan hidupnya, maka tentunya manusia prasejarah berinteraksi dengan
keadaan geologi konteks dahulunya. Untuk mengetahui konteks dahulu keadaan
geologi suatu daerah, maka terlebih dahulu harus diketahui keadaan geologi masa
sekarang daerah tersebut. Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh struktur
penulisan arkeolog Indonesia, Soejono, pada buku Sejarah Nasional Indonesia 1
yang membahas kebudayaan Prasejarah Indonesia. Untuk sampai kepada penjelasan
mengenai kebudayaan Indonesia, pada awal-awal bukunya terlebih dahulu
dijelaskan keadaan geologi dan sejarah geologi Indonesia.
Pada
paragraf ke dua buku ini, dijelaskan tentang proses terbentuknya pulau
Sulawesi. Pulau Sulawesi terbentuk pada zaman Pliosen, Pliosen Atas dan proses
terbentuknya dimulai jauh sebelumnya. Sulawesi Barat dan Sulawesi Timur
dahulunya terpisah pada zaman miosen. Disebabkan oleh penyebab pertama, yaitu
tenaga endogen yang menyebabkan benua Australia bergerak secara terus menerus
ke arah Utara, maka menyatulah lempeng Sulawesi Barat dengan lempeng Sulawesi
Timur.
Sebagai
tambahan, pembagian zaman yang digunakan dalam pembahasan ini ada dua, yaitu
pembagian zaman berdasarkan ilmu Geologi dan pembagian zaman berdasarkan ilmu
Arkeologi. Pembagian zaman berdasarkan ilmu Geologi dari yang tua hingga muda
berturut-turut adalah: Archaeikum, Primer, Sekunder, Tertier, dan Quarter.
Zaman Tertier terbagi menjadi: zaman Paleosen, Eosen, Oligosen, Miosen,
Pliosen. Zaman Quarter terbagi juga menjadi: zaman Plestosen dan zaman Holosen.
Pembagian zaman berdasarkan ilmu Arkeologi dari yang tertua hingga yang termuda
berturu-turut adalah: Paleolitik, Mesolitik, dan Neolitik.
Pembahasan
selanjutnya adalah jenis-jenis batuan yang terdapat di pulau Sulawesi.
Berdasarkan pada pembahasan ini, Sulawesi dibagi menjadi tiga provinsi
berdasarkan jenis batuan yang dikandungnya. Tiga provinsi tersebut adalah
Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Timur, dan Banggai-Sula. Lapisan batuan dasar
Sulawesi Barat bagian selatan adalah batuan belah dan batuan ultra basis
sedangkan bagian utara adalah batuan belah dan gneis. Di atas lapisan-lapisan
batuan tadi adalah endapan-endapan laut, yaitu: batuan kapur, batu pasir, batu
kersik dan batu sabak. Sulawesi Timur dominan terdiri dari batuan basis dan
batuan beku ultra basis. Lapisan batuan dasar Banggai-Sula adalah metamorf yang
bercampur granit putih dan merah jambu dan batuan efusif. Lapisan batuan di
atasnya adalah batu sabak, batu pasir, konglomerat dan mergel.
Pembahasan
selanjutnya adalah mengenai geomorfologi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan,
pada sisi-sisinya dibatasi oleh pegunungan. Pada pertengahannya, yaitu
kabupaten Soppeng, Wajo, Sidenreng dan Bone adalah dataran rendah. Dataran
rendah tersebut diakibatkan oleh tenaga eksogen, yaitu pengikisan oleh angin,
yang pada awalnya, dataran tersebut
terangkat dari dasar perairan karena pengaruh dari tenaga endogen. Pada
paragraf ini, terdapat kata terban. Kata tersebut dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan terban adalah daratan yang terjadi karena proses keruntuhan. Terban
tersebut dinamakan terban Walannae.
Iklim pada Zaman Plestosen
Zaman
plestosen adalah zaman yang ditandai dengan menyebarnya es beberapa kali dari
daratan-daratan tinggi seperti pegunungan ke daratan-daratan rendah. Oleh
karena itu, zaman ini disebut juga zaman glasial. Di samping itu, es juga
beberapa kali menyusut yang kemudian dinamakan zaman interglasial. Saat es
menyebar luas, air laut menyusut sehingga daratan-daratan menjadi lebih luas.
Penelitian
sebelumnya menghasilkan kesimpulan bahwa zaman glasial terjadi empat kali
selama zaman plestosen yang diselingi dengan tiga kali zaman interglasial.
Zaman glasial tersebut berturut-turut bernama: Zaman Gunz, zaman Mindell, zaman
Riss, zaman Wurm. Penelitian selanjutnya menghasilkan pengetahuan bahwa zaman
glasial terjadil 20 kali selama masa plestosen dengan zaman interglasial
terjadi dengan jumlah yang sama.
Pada
paragraf selanjutnya dibahas penyebab glasiasi pada daerah-daerah yang bergaris
lintang—daerah tersebut tentunya termasuk Sulawesi. Penjelasan mengenai hal
tersebut didasarkan pada teori-teori masa kini (Covey 1984; Broecker dan
Denton, 1990). Menurut teori tersebut glasiasi di daerah garis lintang terjadi
karena fenomena yang bersifat siklus dan non-siklus. Fenomena yang bersifat
siklus yaitu perubahan intensitas penyinaran matahari, perjalanan bumi
mengelilingi matahari dan kemiringan bumi. Fenomena yang bersifat non-siklus
yaitu tertutupnya daratan dengan awan abu akibat aktivitas gunung berapi.
Tertutupnya daratan tersebut mengakibatkan panas sinar matahari tidak sampai ke
daratan.
Pada
zaman plestosen ini, daratan-daratan di bumi menjadi semakin luas, begitupun
dengan Indonesia. Pada zaman plestosen, nusantara (Indonesia) terbagi menjadi
tiga wilayah, yaitu paparan Sunda, paparan Sahul dan zona Wallacea. Paparan
Sunda meliputi Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Palawan dan pulau-pulau
kecil yang berada di sekitarnya yang saling menyambung. Paparan Sahul meliputi
benua Australia dan Papua Nugini yang saling menyambung. Zona Wallacea meliputi
pulau-pulau yang berada di antara kedua paparan tersebut, meliputi kepulauan
Nusa Tenggara dari Lombok ke Timur, Maluku, Filiphina dan Sulu, serta Sulawesi.
Pulau Sulawesi adalah pulau yang tidak pernah menyatu dengan pulau-pulau lain.
Flora dan Fauna
Pada
paragraf pertama sub-judul ini, penulis menggunakan kata agihan. Kata tersebut
kiranya tidak tepat untuk mewakili asal kata dari bahasa Inggris, yaitu spatial distribution. Hal tersebut dapat
dipahami karena terkadang terdapat bahasa asing yang sulit untuk diserap ke
dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan arti bahasa Inggrisnya, spatial distribution adalah distribusi
ruang. Dengan digunakannya kata tersebut pada pernyataan: setiap makhluk hidup
mempunyai spatial distribution, maka spatial distribution berarti pembagian
ruang atau dapat juga berarti ekosistem.
Pada
bagian ini, hal yang ingin dijelaskan adalah sistem kehidupan flora dan fauna. Fauna
bergantung pada flora, dan flora bergantung pada iklim. Jika suatu daerah mempunyai
iklim tropis, maka tumbuhan yang berpeluang tumbuh adalah tumbuhan yang dapat
hidup pada iklim tersebut. Dengan adanya tumbuhan, maka hewan-hewan yang sumber
makanannya adalah jenis tumbuhan tersebut akan bermigrasi ke daerah tersebut. Apabila
iklim berubah menjadi iklim kemarau misalnya. Maka tumbuhan tadi akan mati dan
tergantingan oleh tumbuhan yang berpeluang tumbuh di daerah yang beriklim
kemarau. Dengan matinya tumbuhan tadi, maka hewan dengan sumber makanannya
adalah tumbuhan tadi akan bermigrasi ke daerah lain. Sedangkan hewan lain yang
menjadi sumber makanan tumbuhan baru tersebut akan berdatangan. Hal tersebut
merupakan sistem kehidupan flora dan fauna. Hal tersebut juga yang merupakan
faktor terbentuknya ekosistem (pembagian ruang).
Pembahasan
selanjutnya pada sub-judul ini adalah sejarah vegetasi di Sulawesi Selatan.
Selama zaman quarter, pada masa yang beriklim kering, Sulawesi dikuasai oleh
hutan musim atau sabana. Dikatakan pula pada penjelasan ini bahwa bukti yang
memperkuat pernyataan tersebut adalah ditemukannya fosil gajah purba Cabbenge.
Dengan kata lain, sumber makanan gajah purba adalah tumbuhan-tumbuhan hutan
musim atau sabana. Selain fosil tersebut, ditemukan juga fosil babi rusa
Cabbenge. Kesimpulan lain yang ditarik dari penemuan kedua fosil tersebut
adalah “Sulawesi merupakan daerah tujuan akhir di sebelah timur untuk fauna Asia
dan daerah tujuan akhir di sebelah barat untuk fauna Australia”. Pernyataan
tersebut berarti fauna purba Asia dan fauna purba Australia bermigrasi ke
Sulawesi, kemudian punah di sana.
Bab II
Masa Awal, Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Pada
awal bab dinyatakan bahwa pada zaman paleolitik, daerah Sulawesi sudah
diokupasi oleh manusia. Bukti dari pernyataan tersebut adalah ditemukannya
alat-alat batu dengan pengerjaan yang sederhana. Namun, penemuan fosil manusia
pemilik kebudayaan tersebut belum ditemukan.
Pada
paragraf ke tiga penulis buku menggunakan kata kanan untuk menunjukkan letak
daerah pengandung artefak batu. Kata tersebut kiranya tidak tepat dan sebaiknya
menggunakan arah mata angin (utara, selatan, timur atau barat). Pada paragraf
ini juga dijelaskan mengenai Walanae. Namun pada penjelasannya, digunakan kata
undakan. Kata tersebut kiranya tidak tepat, karena kata tersebut tidak baku.
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) digital, kata undakan berasal
dari bahasa Jawa. Kata yang dapat mewakili kata tersebut adalah tingkatan atau
tingkatan daratan.
Walanae
terdiri dari lima tingkatan daratan. Tingkatan tersebut mulai dari yang
terendah hingga yang tertinggi berturut-turut adalah tingkatan pertama dan ke
dua ketinggiannya sekitar 25 m dari permukaan laut. Tingkatan ke tiga
ketinggiannya sekitar 50 mdpl. Tingkatan ke empat ketinggiannya sekitar 75 mdpl
dan tingkatan ke lima ketinggiannya sekitar 90 mdpl. Tingkatan ke tiga dan ke
empat mengandung banyak fosil binatang dan alat batu paleolitik serta kalsedon
dan jaspis. Umur binatang yang berasosiasi dengan alat-alat batu Cabbenge
tersebut adalah zaman pliosen yang diberikan oleh Heekeren (1972). Namun,
pemberian umur tersebut ditentang dengan hasil penelitian geologi. Dengan itu,
penulis buku mengapresiasi hasil penelitian geologi tersebut.
Manusia Pertama
Secara
garis besar pada sub-judul ini pembahasannya adalah manusia pendukung dari kebudayaan
alat batu Cabbenge. Permasalahan yang dipaparkan secara tidak langsung pada
paragraf pertama adalah apakah homo
erectus di Jawa bermigrasi ke Sulawesi ataukah tidak? Jika homo erectus bermigrasi ke Sulawesi, itu
berarti nenek moyang homo sapiens di Sulawesi adalah homo erectus di Jawa. Jika
tidak, itu berarti homo erectus punah di Jawa. Akan tetapi, pulau Jawa juga
tidak dapat dikatakan pulau yang terpencil sehingga membuat homo erectus tidak mengembara
ke pulau Sulawesi ataupun pulau-pulau lainnya.
Pada
paragraf-paragraf berikutnya dibahas tentang teori kesinambungan. Pendapat yang
diapresiasi oleh penulis buku adalah pendapat Alan Thorne dan Milford Wolpoff
(1992). Pandangan tersebut menyatakan adanya kesinambungan morfologis yang
jelas, khususnya kemoncongan dan ukurang gigi belakang antara homo erectus di
Jawa dan homo sapiens di Australia.
Hipotesis
yang kemudian dirumuskan adalah kemungkinan besar alat-alat batu di Cabbenge
adalah hasil kebudayaan homo sapiens. Kemudian hipotesis tersebut diperkuat
oleh pernyataan Barstra (1991) yang menyatakan bahwa alat-alat batu Cabbenge
merupakan hasil karya homo sapien, bukan homo erectus.
Pada
paragraf ke dua dari terakhir sub-judul ini, kesimpulan ditarik berdasarkan
alasan jumlah populasi manusia Wajak (golongan homo sapiens) lebih banyak
frekuensi penyebarannya daripada frekuensi penyebaran pithecanthropus (golongan homo erectus). Kesimpulan tersebut adalah
manusia awal yang menghuni pulau Sulawesi adalah homo sapiens. Namun setelah
kesimpulan, kalimatnya tidak ilmiah. Kalimat tersebut adalah: “Dari pada kita
harus menunggu penemuan mengagetkan yang belum diketahui kapan saatnya…”.
Dengan
kesimpulan bahwa manusia pertama penghuni pulau Sulawesi adalah manusia Wajak,
maka permasalahan muncul. Bagaimana cara manusia Wajak (dari Jawa) sampai ke
pulau Sulawesi, sementara para ahli geologi telah sepakat tidak ada daratan
yang menyambung (land bridge) antara
Paparan Sunda (termasuk pulau Jawa) dengan pulau Sulawesi.
Industri Paleolitik Cabbenge
Pada
paragraf awal dikatakan bahwa alat-alat batu Cabbenge belum diklasifikasi. Akan
tetapi, Barstra (1978) telah mengusahakan untuk mengklasifikasi alat-alat batu
tersebut. Pengklasifikasian sederhananya adalah alat-alat berpatina pada
tingkatan daratan tertinggi berbeda dengan alat-alat Toala yang ditemukan di bagian
yang dekat dengan sungai. Dalam hal tersebut, penulis buku mengapresiasi
pengklasifikasian sederhana Barstra. Dengan itu, untuk membahas alat-alat batu
Cabbenge, penulis memberi kategori alat-alat batu tersebut. Pengkategorian
tersebut didasarkan atas dua alasan. Alasan pertama adalah pada alat-alat batu
Cabbenge pengerjaannya berbeda. Ada yang pengerjaannya sederhana dan ada yang
pengerjaannya rumit. Alasan ke dua adalah pada alat-alat batu Cabbenge
ukurannya ada yang besar dan ada yang kecil. Alasan lain adalah adanya
perbedaan frekuensi patina dan tingkat ketajamannya. Dengan itu kategori yang
dibuat adalah alat batu inti dan alat serpih bilah. Alat batu inti adalah
alat-alat batu yang berukuran besar, pengerjaannya sederhana, memiliki patina
yang banyak dan ketajamannya sudah aus. Alat serpih bilah adalah alat-alat batu
yang berukuran kecil, pengerjaannya rumit, memiliki patina yang sedikit dan
masih memiliki tingkat ketajaman yang tinggi. Berdasarkan hal itu pula, umur
relatif alat-alat batu tersebut dapat ditaksir. Alat batu inti lebih tua dari
pada alat serpih bilah.
Namun,
hal yang rasanya perlu dikritik adalah penggunaan kata untuk kategori alat batu
pertama, yaitu alat batu inti. Batu inti bukanlah alat, melainkan artefak batu
yang tidak dipergunakan sebagai alat. Batu inti (core) merupakan bahan untuk membuat alat batu, seperti alat serpih
bilah.
Pembahasan
selanjutnya pada paragraf berikutnya adalah pengklasifikasian alat-alat batu
yang lebih mendetail yang dilakukan oleh Soejono (1991). Kategori alat batu
pertama dapat diklasifikasikan lagi menjadi kapak perimbas, kapak penetak dan
kapak genggam. Kapak perimbas adalah alat batu yang diserpih hanya pada satu
sisinya saja. Kapak penetak adalah alat batu yang diserpih pada kedua sisinya.
Kapak genggam adalah alat batu yang kedua sisinya diserpih tanpa menyisakan
kulit batunya (korteksnya).
Pola Hidup
Pada
paragraf pertama, penulis buku menyatakan pengakuannya bahwa merekonstruksi
pola hidup manusia zaman plestosen di Cabbenge adalah rekonstruksi pola hidup
yang terumit di Sulawesi Selatan. Alasannya adalah karena kebudayaan paleolitik
Cabbenge adalah kebudayaan tertua dan oleh sebab itu asosiasi data yang jelas
belum ditemukan hingga sekarang. Dalam perekonstruksian pola hidup manusia di Sulawesi,
khususnya Cabbenge, penulis buku hanya menggunakan dua data pokok, yaitu data
alat-alat batu dan data lingkungan. Kemudian penulis membandingkan situs
Cabbenge dengan situs paleolitik yang ada di Jawa dengan alasan jarak yang
tidak jauh antara kedua situs tersebut, serta keadaan lingkungan yang tidak
jauh berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar