Perang Badr
Sumber gambar: warofweekly.blogspot.com
Setelah membaca buku ini, terlintas di pikiran untuk menulis reviewnya. Buku "Sejarah Hidup Muhammad" yang ditulis oleh Muhammad Husain Haekal ini terdiri dari 672 halaman (yang terhitung hanya isi dan lampiran). Buku ini diterjemahkan dari Bhs. Arab ke Bhs. Indonesia oleh Ali Audah. Ali Audah adalah seorang Sastrawan yang diakui oleh tingkat nasional. Ia menguasai Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia di samping juga menguasai bahasa-bahasa lain. Haekal sendiri adalah lulusan dalam bidang ilmu Hukum di Universitas Paris. Selain itu, ia juga berkecimpung di dunia politik. Namun, ia juga memiliki jiwa pengarang.
Buku ini dibuat berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode ilmiah. Yang dimaksud metode ilmiah di sini adalah membebaskan prasangka-prasangka serta kepercayaan yang sudah ada ketika hendak mengadakan penyelidikan. Penulis mengadakan perbandingan-perbandingan yang sistematis terhadap data-data yang terkumpulkan lalu dibuatlah kesimpulan-kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan itu pun kemudian diselidiki lagi. Jadi dalam bukunya ini, nabi Muhammad tidak dikisahkan dengan mengikutsertakan prasangka-prasangka penulis yang sudah ada sebelumnya, tidak melebih-lebihkan dan tidak pula menjelek-jelekkan; singkat kata buku ini tidak subyektif melainkan obyektif.
Sebelum membaca buku ini, saya belum mempunyai prasangka (baik dan buruk) terhadap nabi Muhammad. Memang sering terdengar di telinga tentang kebesaran nabi Muhammad, tapi saya selama itu cuek-cuek saja. Sehingga tulisan ini juga bisa dibilang obyektif.
Yang pertama saya uraikan dalam tulisan ini adalah kritikan terhadap kekurangan buku ini, karena menurutku buku ini terasa lebih banyak bagusnya--sama halnya juga saat menyantap telur mata sapi, yang didahulukan dimakan telur putihnya karena telur kuningnya terasa lebih enak. Kritikan saya terhadap buku ini adalah keterangan yang terkesan melebih-lebihkan. Karena itulah terkadang saya merasa jengkel sehingga melewatkan bagian yang menjengkelkan itu. Seharusnya tidak usalah ada keterangan tersebut, biar pembaca sendiri yang merasakan, biar pembaca sendiri yang menyimpulkan, 'kalau memang hasil penelitian (buku) ini obyektif'. Dengan adanya keterangan-keterangan tersebut, itu akan terkesan melebih-lebihkan cerita. Namun, keterangan-keterangan tersebut memang hasil (kesimpulan) dari penulis berdasarkan metode ilmiahnya. Tetapi bagusnya keterangan-keterangan itu tidak ada. Yang dimaksud keterangan yang terkesan melebih-lebihkan seperti: saat penulis menyebut-nyebutkan (menerangkan) kebaikan-kebaikan nabi Muhammad, kejahatan-kejahatan musuhnya, dll. Dengan membaca bagian-bagian kisah--yang semestinya tidak perlu ada keterangan itu--pembaca sudah mengerti sifat-sifat nabi, mengerti sifat-sifat musuhnya, dll, karena memang yang dikisahkan itu sudah jelas. Sudah jelas dalam artian tidak akan ada lagi prasangka yang berlainan berdasarkan bagian kisah tersebut.
Yang bagus dalam buku ini--selain hasil penelitiannya yang obyektif--adalah emosi kita dapat bangkit saat membacanya; juga surah-surah dalam Qur'an terjelaskan kronologis diturunkannya. Di sini, saya hanya membahas bagian-bagian kisah yang telah membangkitkan emosi saja, karena itulah yang paling berkesan saat membaca buku ini. Kisah-kisah tersebut adalah sbb:
1. Semangat Pasukan Muslimin dalam Perang Badr.
Pada saat itu pasukan Muslimin yang dipimpin oleh nabi Muhammad sedang berhadapan dengan Pasukan Quraisy. Melihat jumlah pasukannya yang sangat sedikit dibanding jumlah pasukan Quraisy, nabi pun merasa sangat cemas jika kemenangan tak berpihak kepadanya. Oleh karenanya, ia 'ke belakang' (bersama Abu Bakar) lalu berdoa memohon pertolongan kepada Allah SWT. Saat berdoa itu nabi tertidur sebentar, lalau segera tersadar lagi, kemudian--beserta Abu Bakar--kembali maju. Saat itulah, nabi mengerahkan sahabat-sahabatnya sambil berkata: "Demi Allah. Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga". Dengan kata-kata itu, semangat Pasukan Muslimin bangkit sehingga membuat mereka bertambah kuat. Satu orang pasukan muslimin seakan (sama dengan) 10 orang. Kepala-kepala pasukan Quraisy berjatuhan dari batang lehernya. Bangkitnya semangat pasukan muslimin ini membuat bulu-bulu merinding.
2. Tewasnya Paman Nabi dalam Perang Uhud.
Hamzah, paman nabi ditombak dari jarak yang cukup jauh oleh Wahsyi dari Abisinia. Tombak tersebut kena tepat di bawah perut Hamzah. Hamzah pun tewas. Setelah kemenangan jatuh di tangan pasukan Quraisy, perut Hamzah lalu di bedah, jantungnya diambili lalu dikunyah. Yang melakukan perbuatan keji itu adalah Hindun, seorang wanita Quraisy. Mayat-mayat yang lain pun dianiaya oleh kawan-kawan Hindun. Hal ini menjijikkan bagiku. Setelah mayat-mayat dibedah dan pasukan Quraisy pergi, Nabi Muhammad mendatangi mayat pamannya. Melihat mayat pamannya itu, beliau sungguh marah sehingga beliau berjanji Dengan Nama Allah bahwa apabila suatu ketika Tuhan memberikannya kemenangan, ia akan menganiaya mereka lebih keji, bahkan lebih keji lagi dari yang pernah dilakukan oleh orang Arab. Pada saat itulah firman Tuhan turun (Q.S. an-Nahl, 126-127). Dengan firman tersebut, hati nabi lalu memaafkan mereka dan melarang orang menganiaya. Kesedihan nabi itu, membuat saya turut merasa sedih. Di samping itu, saya sangat terharu akan sikap beliau yang tabah dan lebih-lebih lagi mau memaafkan (dalam hati) orang yang mengunyah jantung pamannya itu serta kawan-kawannya. Ujung-ujungnya setelah Hindun masuk Islam (beserta kawan-kawannya), ia dimaafkan oleh nabi Muhammad. Sungguh luar biasa.
3. Fitnah Tentang Aisyah, Istri Nabi
Ketika itu, kaum muslimin sedang berkemah, melakukan perjalanan pulang menuju Medinah. Pada saat itu Aisyah, dengan mengenakan kalung kesayangannya, keluar dari kemah nabi karena hendak berhajat. Sewaktu selesai, ia tersadar bahwa kalungnya itu sudah tidak ada. Ia lalu pergi mencarinya kemudian menemukannya setelah sekian lama mencari. Sewaktu kembali di perkemahan, rombongan sudah pergi. Aisyah tidak panik dengan ketertinggalannya itu, karena ia yakin kalau rombongan tersadar akan ketidakberadaannya itu, mereka pasti kembali ke perkemahan untuk mencarinya. Jadi ia berbaring sambil menunggu rombongan. Ketika itu, datanglah Safwan bin’l-Mu’attal lewat di tempat tersebut yang juga tertinggal karena melaksanakan suatu perintah. Ia lalu menyuruh Aisyah naik ke untanya dan bersama-sama menuju ke Medinah. Sesampainya di Medinah, masyarakat di sana terheran-heran melihat mereka berdua berboncengan, sehingga timbullah fitnah. Fitnah tentang Aisyah dan Safwan bin'l-Mu'Attal. Fitnah ini pun sampai ke telinga nabi, sehingga nabi bingung antara percaya atau tidak. Dengan itu, Aisyah—yang belum sampai di telinganya fitnah tentang dirinya—merasa aneh melihat sifat suaminya yang sekarang begitu kaku, yang sebelumnya lemah lembut dan penuh kasih sayang kepadanya. Lama-kelamaan berita fitnah itu pun sampai ke telingah Aisyah, sehingga ia hampir jatuh pingsan dan tidak tahu harus berbuat apa sewaktu mendengarnya. Karena sangat merasa terganggu sekali dengan berita tentang Aisyah, nabi Muhammad pun menemui Aisyah untuk meminta pengakuannya. Aisyah membantah fitnah tentang dirinya itu. Ketika nabi hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia terlelap oleh kedatangan wahyu dari Tuhan. Saat ia tersadar kembali, ia lalu yakin akan ketidakbenaran fitnah tersebut, dan mengatakan kepada Aisyah bahwa berita itu sama sekali tidak benar. Aisyah pun sangat gembira. Dengan itu, masalah fitnah ini sudah selesai. Adapun orang yang menyebarkan fitnah tersebut mendapatkan hukuman. Di sini, hati merasa turut simpati melihat pertengkaran dalam rumah tangga antara Aisyah dan suaminya. Dan mengenai orang yang menyebarkan fitnah (atau bahasa sekarangnya gosip) itu, lagi-lagi nabi memaafkan. Nabi memaafkan, bukan berarti beliau lemah. Bisa saja beliau memerintahkan agar orang yang menyebar fitnah itu dibunuh, akan tetapi karena ketabahan hatinya dan rasa kasih sayangnya kepada sesama manusia yang membuat ia sanggup memaafkan.
4. Umar bin Khattab Menangis???
Ibrahim, anak nabi dari Maria lahir. Dengan kelahirannya itu, nabi sangat gembira. Karena sangat gembiranya, ia lebih memperhatikan anak dan ibunya itu daripada istri-istrinya yang lain. Dengan begitu, timbul kecemburuan pada istri-istrinya. Dengan kecemburuan itu, timbul masalah-masalah emosional antara nabi dengan istri-istrinya. Lama-kelamaan nabi marah sehingga bermaksud menceraikan sebagian istri-istrinya. Nabi lalu memutuskan untuk memisahkan diri dari istri-istrinya selama sebulan, lalu menetap di sebuah bilik yang ditemani oleh Rabah, pelayannya. Singkatnya, tersebar berita-berita bahwa nabi sudah menceraikan istri-istrinya. Berita itupun tersebar di kalangan muslimin, dan juga istri-istrinya. Mendengar berita tersebut, istri-istrinya lalu merasa gelisah, menyesal, mengapa ia sampai begitu jauh menyakiti hati suaminya yang selama ini mereka kenal sebagai suami yang sangat lemah lembut kepadanya. Sudah sebulan lamanya nabi memisahkan diri. Ketika itu, kaum muslimin yang di tengah-tengahnya juga ada Umar bin Khattab, sedang membicarakan berita bahwa nabi sudah menceraikan istri-istrinya. Mendengar itu, Umar lalu berdiri dan bermaksud menemui nabi di biliknya itu. Sesampainya di depan bilik, Umar lalu meminta kepada Rabah bahwa ia mau menemui nabi. Rabah pun lalu masuk ke bilik. Tapi, sewaktu Rabah keluar, ia tidak mengatakan apa-apa yang bertanda bahwa nabi tidak mengizinkannya masuk. Umar pun lalu meminta untuk yang kedua kalinya, namun nabi tetap tidak mengizinkan. Yang ketiga kalinya, Umar berkata dengan suara keras: “Rabah, mintakan aku izin kepada Rasulullah. Kukira dia sudah mengetahui kedatangannku ini ada hubungannya dengan Hafsah. Sungguh. kalau dia menyuruhku memenggal leher Hafsah, akan kupenggal”. Hafsah adalah anak Umar yang pernah menentang nabi, protes kepada nabi terhadap tingkah laku beliau yang lebih memerhatikan anaknya Ibrahim dan Istrinya Maria daripada istri-istrinya yang lain, sehingga membuat nabi gusar sepanjang hari.Untuk yang ketiga kalinya itu, nabi lalu mengizinkan Umar masuk untuk menemuinya. Umar pun masuk. Ia lalu memandang ke sekeliling biliknya itu, dan seketika itu, Umar menangis. Nabi pun bertanya: “Apa yang membuat engkau menangis Ibn’l Khattab?”. Ia menjawab bahwa yang membuatnya menangis adalah melihat tikar tempat ia berbaring yang sampai meninggalkan bekas di rusuknya, dan juga bilik sempit yang ia tempati yang tidak berisi apa-apa selain gandum, dan kacang-kacangan yang digantung. Umar pun berkata: “Rasulullah, apa yang menyebabkan tuan tersinggung karena para istri itu? Kalau mereka itu tuan ceraikan, nisacaya Tuhan di sampingmu, demikian juga para malaikat—Jibril dan Mikail—juga saya, Abu Bakar (sahabat dekat nabi), dan semua orang-orang beriman pun ada di pihakmu”. Nabi Muhammad lalu memberi keterangan bahwa ia tidak menceraikan istri-istrinya. Perbincangan terus berlangsung, amarah Umar pun mulai berangsung-angsur hilang. Dengan itu, Umar lalu segera ke mesjid untuk mengumumkan hal yang telah dibicarakkannya dengan nabi, kepada kaum muslimin yang masih tinggal di mesjid. Ia berkata: “Rasulullah tidak menceraikan istrinya”. Dengan demikian, masalah ini selesai. Istri-istri nabi pun kembali sadar.
Umar bin Khattab, yang bertubuh kekar, terkenal keras dan kasar--sehingga orang-orang takut kepadanya--menangis. Ia menangis karena tidak tega melihat orang yang dicintainya, orang yang sangat dihormatinya itu tidur di tikar yang sampai meninggalkan bekas di rusuknya, dan tinggal di sebuah bilik seperti itu. Bahkan, karena cinta dan hormatnya itu pula lah, Umar rela akan memenggal kepala anaknya yang telah membuat gusar nabi sepanjang hari. Hal ini dapat dikatakan tidak logis, tapi itulah yang namanya ‘emosi’. Emosi dapat mengalahkan logika. (rujukan: “Emotional Intelligence”, Daniel Goleman).
5. Ibadah Haji Perpisahan
25 Zulkaidah, tahun kesepuluh Hijrah nabi dari Mekah ke Medinah. Pada Ibadah Haji itu nabi sendiri yang memimpin rombongan haji. Dalam ibadah haji, dalam pidatonya, Rasulullah membacakan firman Tuhan kepada rombongan haji, yang di tengah-tengah rombongan itu ada pula Abu Bakar:
“Hari inilah Kusempurnakan agamamu ini untuk kamu sekalian, dengan Kuucapkan nikmat-Ku kepada kamu, dan yang Kusukai Islam inilah menjadi agama kamu” (Q.S. al-Ma’idah: 3). Mendengar ayat itu, Abu Bakar lalu menangis. Ia merasa bahwa risalah nabi sudah selesai sampai di sini dan sudah dekat pula saatnya nabi menghadap Tuhan. Dan apa yang terjadi, memang betul firasat Abu Bakar. Inilah ibadah terakhir yang diikuti oleh nabi, yang setelahnya itu, ia pun berpulang ke rahmatullah. Oleh karenanya ibadah ini dikatakan sebagai Ibadah Haji Perpisahan. Membaca kisah ini, saya pun turut merasa sedih...
Itulah tadi kelebihan buku ini, khususnya kisah-kisah pembangkit emosi yang telah diuraikan di atas. Selain itu, masih ada lagi kisah-kisah yang tidak sempat diuraikan pada tulisan ini.
Wassalam... :)