Klik "ide judul blog" untuk membaca tulisan ide dari judul blog...

Sabtu, 13 November 2021

Antara Pertemanan dan Persahabatan

Sumber gambar: unsplash.com/s/photos/friend


Pada bagian pendahuluan buku 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif karya Stephen R Covey, diuraikan mengenai proses pertumbuhan non-fisik (psikis dan emosi) manusia yang diistilahkan dengan Kontinum Kematangan (rangkaian atau tingkatan kematangan). Hidup setiap individu berawal dari Paradigma Ketergantungan atau diistilahkan juga dengan Paradigma Kamu-Kamu, yaitu suatu individu tidak dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Paradigma Kamu-Kamu berbunyi: jika KAMU tidak mengurusku dan tidak menolongku, maka KAMU yang bersalah. Kondisi psikis dan emosi ini terjadi saat kita baru saja lahir ke dunia ini, tumbuh menjadi balita, hingga pada akhirnya menjadi dewasa. Saat dewasa kita mulai menuju ke kontinum kematangan selanjutnya yaitu Paradigma Kemandirian atau yang juga dikenal dengan istilah Paradigma Aku-Aku. Kita sudah dapat melakukan berbagai hal sendiri. Pardigma Aku-Aku berbunyi: jika AKU gagal, maka AKU yang salah dan AKU lah yang akan menerima dampaknya.

Hanya sekedar pendapat pribadi penulis bahwa kebanyakan orang terjebak dalam kontinum kematangan level 2 ini. Penulis sendiri pun terkadang terjebak dalam Paradigma Aku-Aku. Aku belajar, maka akulah yang akan mendapatkan ilmunya. Aku bekerja, maka akulah yang akan memperoleh hasilnya. Aku yang berusaha, maka akulah yang akan memperoleh kesuksesannya. Namun paradigma tersebut bukanlah kontinum kematangan tertinggi. Kontinum kematangan tertinggi adalah Paradigma Kesalingtergantungan atau Paradigma Kita-Kita. KITA berusaha, maka KITA lah yang memperoleh hasilnya dan jika KITA gagal, maka kegagalan tersebut menjadi milik KITA bersama. Dasar pemikiran dari kontinum kematangan ketiga ini adalah bahwa dengan bekerja sama, kita dapat memperoleh hasil yang lebih besar dibandingkan dengan bekerja sendiri.

Menurut pendapat pribadi penulis, relasi yang paling sehat adalah relasi yang dibangun berdasarkan Paradigma Kesalingtergantungan. Kita bergantung kepada orang lain, dan orang tersebut juga bergantungan kepada kita. Ada kelebihan yang kita miliki tetapi tidak dimiliki oleh orang lain sehingga membuat orang tersebut bergantung kepada kita dan ada kelebihan yang orang lain miliki tetapi tidak dimiliki oleh kita sehingga membuat kita bergantung kepadanya. Namun pada kenyataannya, tingkat kematangan fisik tidak selamanya berbanding lurus dengan tingkat kematangan psikis-emosional. Hal yang ironis adalah ketika seseorang sudah dewasa secara fisik atau umur, namun masih berada pada Kontinum Kematangan Kesatu: Paradigma Kamu-Kamu. Terus-terusan bergantung pada orang lain tanpa memperoleh sesuatu yang dapat ditawarkan kepada orang tersebut. Jika kondisi seperti ini terjadi dalam sebuah relasi, maka relasi tersebut dapat dikatakan relasi yang tidak sehat.

Terkadang, kita melihat orang hebat beserta kesuksesannya. Akan tetapi, kesuksesan tersebut dibangun atas dasar Paradigma Aku-Aku. Hal tersebut bukanlah pencapaian tertinggi. Pencapaian tertinggi adalah kesuksesan yang dibangun atas dasar Paradigma Kita-Kita.

Saat berada di bangku kuliah, seorang dosen pernah berkata seperti ini di ruang kelas: “ada dua jenis teman, yaitu : teman main dan teman kepercayaan.” Sampai sekarang, saya masih mempercayai hal tersebut. Teman main memang jumlahnya ada banyak, namun teman kepercayaan hanya sedikit, dan inilah yang disebut sebagai sahabat. Teman main hanya ada di saat kita senang, bermain dan tertawa bersama. Namun teman kepercayaan atau sahabat ada saat dibutuhkan dan memang jumlahnya hanya sedikit. Relasi persahabatan yang sehat adalah relasi yang dibangun atas dasar Paradigma Kesalingtergantungan. Oleh karenanya, menurut pendapat pribadi penulis, persahabatan itu adalah sebuah takdir. Jika kelebihan yang kita kembangkan selama ini dibutuhkan oleh orang lain, dan kelebihan orang lain tersebut yang ia kembangkan juga kita butuhkan, maka disitulah terjalin relasi persahabatan. Tidak hanya itu, persahabatan juga terjalin atas dasar kesamaan hobi, kesamaan sejarah hidup, nasib, kesamaan pola pikir, ideologi atau kesamaan karakter. Bersyukurlah bagi kita yang memilikinya, dan pekerjaan selanjutnya adalah mempertahankan relasi tersebut, hingga pada akhirnya dapat berkembang menjadi sebuah jejaring atau networking.

Sabtu, 02 Oktober 2021

Review Buku Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif (Part 1)

 

Sumber foto: unsplash.com


Buku ini merupakan buku yang sangat terkenal, karya Stephen R Covey, dan saya rasa karena buku inilah penulis tersebut menjadi terkenal. Dilihat dari kulit luarnya, sekilas buku ini adalah buku motivasi hidup, namun tidak sesederhana itu. Buku ini lebih kompleks dari hanya sekedar tentang motivasi hidup.

Sewaktu mahasiswa baru, tepatnya pada tahun 2009, ada hal baru yang kuperoleh dari kegiatan Basic Study Skills (BSS). Hal tersebut adalah ilmu tentang managemen waktu. Aktivitas kita dapat dibagi ke dalam empat kuadran, yaitu: Kuadran I adalah aktivitas-aktivitas yang penting dan mendesak, Kuadran II adalah aktivitas-aktivitas yang penting tapi tidak mendesak, kuadran III adalah aktivitas-aktivitas yang tidak penting, namun mendesak, dan yang terakhir kuadran IV adalah aktivitas-aktivitas yang tidak penting dan tidak mendesak. Karena materi tersebut sangat berkesan bagiku pada saat itu, maka saya masih mengingatnya sampai sekarang.

Di hari-hari kemudian, saya tersadar, ternyata pembagian aktivitas berdasarkan empat kuadran itu sudah diketahui oleh banyak orang. Sehingga pengetahuan tersebut sudah dapat dikategorikan ke dalam pengetahuan umum. Darinya, timbullah pertanyaan di dalam benakku: “dari mana kah asal pengetahuan ini?”. Yah, terkadang memang otak kita sudah merasa puas jika hanya bertanya tanpa memperoleh jawaban. Saat itu, saya tidak memperoleh jawaban atas pertanyaan yang muncul dalam benakku tersebut.

Hari-hari pun berlalu. Saat itu, orang-orang pada membicarakan tentang 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif. Nomor 1 adalah jadilah proaktif, kedua adalah mulailah dari tujuan akhir, 3 adalah dahulukan yang utama, empat adalah berusahalah untuk mendengarkan terlebih dahulu baru didengarkan, 5 adalah berpikir menang-menang (win-win solution), 6 adalah tentang sinergitas, dan 7 adalah asahlah gergaji. Namun saya memperoleh pengetahuan tersebut hanya sebatas ringkasannya saja. Karena tertarik ingin mengetahuinya lebih jauh, saya pun berniat untuk memiliki buku 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif karya Stephen R Covey.

Pada awalnya, kuberpikir bahwa buku 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif tentunya sudah sulit ditemukan saat itu, karena buku tersebut merupakan buku terbitan lama. Namun dugaanku tersebut ternyata salah. Saya menemukan buku tersebut secara tidak sengaja di sebuah toko buku di jalan Bulukunyi Makassar. Para pembaca pasti sudah mengetahui toko buku yang dimaksud.

Karena rasa ingin tahuku yang relatif besar untuk mengetahui lebih jauh mengenai 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, maka saya bersemangat membaca buku tersebut pada saat itu. Butuh waktu untuk membacanya, karena buku tersebut bukan seperti buku pada umumnya yang hanya dibaca sekali. Saya mulai membacanya dari pengantar, pendahuluan, kebiasaan 1, kebiasaan 2, dan pada akhirnya sampai pada kebiasaan 3: dahulukan yang utama. Pada bagian inilah saya memperoleh jawaban atas pertanyaanku dahulu: “darimanakah pengetahuan tentang pembagian aktivitas ke dalam empat kuadran itu berasal?”. Jawabannya adalah dari buku 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, atau lebih tepatnya bahwa pengetahuan tersebut berasal dari penulisnya, yakni Stephen R Covey. Saya pun menghembuskan nafas legah saat memperoleh jawaban atas pertanyaanku dahulu.

Selasa, 19 Januari 2021

My Little Experience of Photography



Photography becoming part of my life about 4 years ago. I began to learn it in my career as apprentice at an institution. I have had other skills other than photography. Therefore, I still need the skill because every single activity needed a photographer for either freezing moments or documentation. So, those all were my reasons to learn photography. 

I remember the time in 2014. When I did an archaeological project in Lembah Bada, Center of Sulawesi province. I and other people in the team had each role and it was shifted sometimes. At a time of discussing to shift roles, there was a statement said by me. It was “apapun peran itu akan saya terima, asal jangan memotret” or “whatever the role, I will take it while it is not a photographer”. The statement I said clearly described how small my interest in photography. 

But my mind had changed, exactly in 2016. The situation in my workplace at the time forced me to learn photography because the skill was extremely needed for documenting every single activity. So, I started to learn photography from zero. Where should I start? The question was kept in my mind for days. Then I remembered the time when I took a job as a photographer in alumni gathering of archaeology Hasanuddin University in 2012s where I was forced to do the job. At the end of the activity, my senior checked the results of my job. She said “Kenapa sedikit sekali fotomu?!” or “Why are there a few photos?”. I could not answer the question. Then, that became my first lesson of photography. If you are the beginner, then just take a lot of pictures.

I have no idea anymore to continue this writing..