Klik "ide judul blog" untuk membaca tulisan ide dari judul blog...

Sabtu, 29 Oktober 2022

Definisi Kebahagiaan dan Kesenangan

sumber foto: https://www.republika.co.id/berita/poqzt1313/hakikat-kebahagiaan

Dalam tulisan kali ini, akan dibahas definisi antara kesenangan dan kebahagiaan. Semoga bermanfaat.

Kebahagiaan adalah berbeda dengan kesenangan. Kebahagiaan lebih tinggi derajatnya daripada kesenangan. Kesenangan dapat diperoleh secara instan dengan melakukan hal-hal yang dapat membuat suasana hati kita menjadi senang. Sedangkan kita tahu bahwa suasana hati itu berubah-ubah.

Untuk memperoleh kebahagiaan, kita harus bersakit-sakit terlebih dahulu. Kebahagiaan adalah hasil dari perjuangan yang kita lakukan. Oleh karenanya, kebahagiaan itu bersifat kokoh, sulit berubah. Karena proses mendapatkannya juga tidak mudah.

Suasana hati tidak layak dijadikan nahkoda dalam keseharian kita, karena sifatnya yang mudah berubah-ubah. Hal yang pantas menjadi nahkoda dalam keseharian kita adalah sesuatu yang agung, yaitu visi hidup, cita-cita, ataupun impian.

Jika kita dapat mencapai visi hidup kita, mencapai cita-cita atau mewujudkan impian, tentulah kita akan memperoleh kebahagiaan yang hakiki. Jika dalam suatu hari kita dihadapkan di antara dua pilihan aktivitas: pertama adalah aktivitas yang ingin kita lakukan dan dapat membuat hati kita senang sedangkan aktivitas kedua adalah aktivitas yang terlintas di dalam pikiran kita namun rasanya malas untuk melakukannya namun dapat mengantarkan kita lebih dekat dengan visi hidup kita. Maka pilihan yang tepat adalah mengerjakan aktivitas kedua. 

Sekian dan terima kasih.

Minggu, 15 Mei 2022

Berawal dari Nggak Pengen ke Kepengen Banget. Curhat Dikit Nggak Apa-Apa Kan? Dasar-Dasar Fotografi.

Sumber foto: www.unsplash.com

Pengantar

Saya mulai mengenal fotografi sejak tahun 2012 / 2013. Sebelum tahun tersebut sebenarnya juga sudah bersentuhan dengan dunia fotografi namun hanya sekedar motret-motret biasa saja menggunakan kamera handphone. Tahun 2012 atau kalau tidak salah ingat tahun 2013, itu adalah momen pertamaku menggunakan kamera DSLR (kamera DSLR yang kugunakan saat itu adalah Nikon D3200). Saya diberi job oleh senior untuk mendokumentasikan sebuah acara temu alumni walaupun saya hanyalah fotografer backup (fotografer kedua) dalam acara tersebut. Saat kegiatan usai, satu komentar dari senior yang masih kuingat sampai sekarang adalah: KENAPA KURANG SEKALI FOTONYA?!. Itulah pelajaran pertama yang kudapat dalam fotografi. Saat mendapatkan job fotografi dan Anda masih pemula, maka perbanyaklah memotret.

Sejak mahasiswa, saya memang sudah menanamkan mindset, bahwa saya tidak tertarik dengan fotografi, dan saya tidak akan pernah mengambil job tersebut. Di tahun 2014, saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti penelitian tema megalitik di Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah selama sebulan. Terdapat berbagai job dalam penelitian tersebut, yang salah satunya adalah fotografi. Karena kebetulan saya juga memiliki keahlian menggambar, sehingga saya memiliki alasan untuk tidak mengambil job fotografi. Karena job dalam penelitian tersebut dirolling, maka saya sampai mengeluarkan argumen bahwa job apapun akan saya terima asal jangan motret. Saya tidak tahu motret.

Tahun 2015 saya menyelesaikan studi S1 ku dan langsung magang di tempatku menimba ilmu. Karena hanya saya seorang yang magang di sana, maka job apapun harus kuterima, termasuk fotografi. Di tempatku magang inilah saya mulai mempelajari fotografi. Jadi bisa dibilang motivasi awalku belajar fotografi adalah karena tuntutan pekerjaan. Di masa magangku ini saya mulai serius belajar fotografi. Mindset awal ku pun musnah tergantikan dengan keinginanku untuk belajar fotografi. Tidak puas dengan materi gratisan, saya pun sempat rela mengeluarkan uang untuk materi berbayar.

Waktu terus berlalu. Karirku dalam dunia fotografi pun bisa dibilang meningkat. Karena yang tadinya hanya skala departemen, sekarang menjadi skala fakultas. Saya pun menjadi fotografer fakultas. Dalam tulisan ini sebenarnya hal yang ingin disampaikan adalah sharing mengenai dasar-dasar fotografi. Hanya sekedar berbagi dengan para pembaca. Adapun kisah penulis berkenaan dengan fotografi hanyalah sebuah pengantar.

Dasar-Dasar Fotografi

Berawal dari Mode Auto atau Program ke Mode Manual

Sumber foto: dokumentasi pribadi

Jika Anda sudah beranjak dari mode Auto / Program ke mode Manual dalam menggunakan kamera DSLR, maka itu adalah permulaan yang baik. Awal karir penulis di dunia fotografi juga seperti itu, berawal dari mode Auto atau Program ke Mode Manual. Di dalam kamera DSLR terdapat beberapa mode yang dapat digunakan. Dalam tulisan ini, penulis membaginya ke dalam dua golongan besar, yaitu Mode Otomatis dan Mode Non Otomatis. Kamera DSLR pada umumnya memiliki tiga mode otomatis, yaitu (1) Mode Auto, (2) Mode Program, dan (3) Mode Auto tanpa Flash Light. Mode Auto sama halnya dengan memotret dengan menggunakan kamera handphone. Pengaturan kamera diserahkan sepenuhnya ke kamera. Sehingga mode ini cocok digunakan untuk fotografer pemula.

Selanjutnya adalah Mode Auto tanpa Flash Light. Terkadang, di beberapa tempat, pemilik tempat mengizinkan untuk memotret di dalam ruangan, namun karena suatu alasan sehingga dilarang menyalakan flash light. Dalam kondisi seperti ini, mode Auto tanpa Flash Light inilah yang cocok digunakan. Satu perbedaan lagi antara Mode Auto dengan Mode Auto tanpa Flash Light adalah saat kondisi obyek yang akan difoto disinari cahaya yang tidak cukup, maka built-in flash light kamera akan secara otomatis terbuka sedangkan saat obyek mengalami kondisi minim cahaya dengan menggunakan mode Auto tanpa Flash Light, maka built-in flash light tidak akan terbuka dan sebagai penggantinya nilai ISO kamera dinaikkan, yang biasanya dua kali lipat. Selain itu, terdapat satu alasan menggunakan mode ini. Penulis sendiri dulunya sering menggunakan Mode Auto tanpa Flash Light ini karena tidak menyukai hasil foto yang menggunakan flash light. Hasil foto dengan menggunakan built-in flash light akan menimbulkan bayangan tajam di belakang obyek yang difoto.

Mode Otomatis yang terakhir adalah Mode Program. Sebenarnya mode program ini adalah mode semi otomatis. Karena dengan menggunakan mode ini, pengguna kamera masih dapat melakukan pengaturan pada kamera. Nilai yang dapat diatur adalah nilai ISO-nya, sedangkan untuk nilai Aperture dan Shutter Speed-nya diatur oleh kamera. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa mode ini dikelompokkan ke dalam mode semi otomatis di dalam tombol dial kamera.

Mode Non Otomatis terdiri dari: (1) Mode P, (2) Mode S, (3) Mode A, dan (4) Mode M. Sebelum menggunakan mode ini, pemahaman mengenai segitiga fotografi adalah hal yang mutlak untuk diketahui. Mode semi otomatis ini sangat jarang penulis gunakan dalam memotret, sehingga hanya tahu secara teoritis saja. Mode P adalah seperti yang telah dijelaskan di atas. Mode S adalah singkatan dari Mode Shutter Speed Priority. Mode ini lebih memprioritaskan pengaturan shutter speed kamera dan nilai aperture-nya otomatis atau dengan kata lain, Mode S ini mengotomatiskan pengaturan nilai aperture dan memanualkan pengaturan nilai shutter speed. Mungkin mode ini cocok digunakan dalam kondisi obyek yang ingin difoto memiliki pergerakan yang dinamis, yaitu kadang cepat, kadang lambat. Sehingga pemotret harus mengatur nilai shutter speednya secara manual. Jika Mode S memanualkan nilai shutter speed kamera, maka Mode A (Aperture Priority) memanualkan nilai aperture kamera, dan mengotomatiskan nilai shutter speed kamera.

Mode terakhir adalah Mode Manual, mode yang penulis gunakan dalam motret hingga saat ini. Mode ini menjadi mode favorit penulis karena dengan mode ini, kendali penuh terhadap kamera berada di tangan si pemegang kamera. Jadi lebih memainkan kreativitas kita dalam memotret. Dalam mode ini, nilai ISO, aperture, dan shutter speed diatur oleh si pemegang kamera.

Segitiga Fotografi dan Komponen Utama dalam Memotret

Sumber gambar: shotsbyalexander.com


Segitiga Fotografi atau Segitiga Eksposur adalah pengetahuan mutlak yang harus dimiliki oleh orang-orang yang ingin berkecimpung di dalam dunia fotografi. Segitiga Eksposur terdiri dari tiga komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi. Pengaturan ketiga komponen inilah yang menentukan terang gelapnya foto. Ketiga komponen tersebut adalah ISO, Aperture, dan Shutter Speed. Namun, selain ketiga komponen tersebut, terdapat satu komponen utama yang sangat penting dalam motret. Komponen tersebut adalah cahaya. Tanpa cahaya, kamera sebagus apapun tidak akan ada gunanya. Dari cahaya inilah kita dapat melakukan pengaturan terhadap ISO, Aperture dan Shutter Speed.

Dalam kamera DSLR, terdapat tiga komponen penting, yakni sensor, cermin, dan aperture pada lensa. Dengan melakukan pengaturan nilai ISO, berarti kita melakukan pengaturan terhadap tingkat kepekaan sensor kamera terhadap cahaya. Dengan melakukan pengaturan nilai shutter speed, berarti kita melakukan pengaturan terhadap lamanya cermin terangkat atau dengan kata lain, lamanya cahaya mengenai sensor kamera. Dengan melakukan pengaturan nilai aperture, berarti kita melakukan pengaturan terhadap besar kecilnya bukaan lensa, sehingga menentukan jumlah cahaya yang masuk mengenai sensor kamera.

Kondisi tempat motret dapat dibagi dua, yaitu indoor dan outdoor. Kedua kondisi ini membuat perbedaan pengaturan kamera yang sangat signifikan utamanya pada nilai ISO. Saat berada di luar ruangan (outdoor), sumber cahaya adalah matahari sehingga cahaya melimpah ruah, yang mengharuskan kepekaan sensor kamera di-setting rendah. Misalnya ISO 100 hingga 800. Saat berada di dalam ruangan (indoor), sumber cahaya adalah lampu. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu: jika jumlah cahaya lampunya cukup, maka settingan nilai ISO tidak usah terlalu tinggi, tapi jika jumlah cahaya lampunya tidak cukup (ruangannya gelap), maka settingan nilai ISO harus tinggi. Berdasarkan pengalaman penulis, biasanya menggunakan nilai ISO ribuan. Seperti 1250, 1600, hingga 6400. Kesimpulannya adalah jika cahaya tidak memadai, maka sensor kamera harus lebih dipekakan lagi terhadap cahaya agar foto menjadi terang. Namun jika cahaya yang tersedia cukup memadai, maka sensor kamera tidak usah ditinggikan nilai kepekaannya terhadap cahaya.

Komponen yang kedua adalah shutter speed. Pengaturan ini bergantung pada pergerakan obyek yang ingin difoto. Jika obyek yang ingin difoto adalah benda yang tidak bergerak (benda mati), maka lama cahaya mengenai sensor kamera dapat disetting lama (dapat disetting 1/60 ke bawah hingga 2 detik). Namun jika obyek yang ingin difoto adalah obyek yang bergerak, maka settingan shutter speednya harus dipertimbangkan. Berdasarkan pengalaman penulis, jika obyek yang ingin difoto adalah orang-orang dengan kegiatan seperti rapat, seminar, dan kegiatan-kegiatan sejenis, maka nilai shutter speednya cukup dengan 1/60, 1/80 hingga yang paling tinggi adalah 1/125. Pergerakan orang-orang dalam kegiatan rapat ataupun seminar adalah relatif lambat, sehingga tidak perlu mengatur nilai shutter speed terlalu cepat. Berbeda dengan orang-orang yang sedang berada dalam kegiatan olah raga apalagi balapan motor atau mobil. Maka shutter speed harus disetting cepat untuk membekukan obyek yang ingin difoto.

Komponen yang terakhir adalah aperture. Pengaturan nilai aperture ini bergantung dari tata letak obyek yang ingin di foto. Jika kita ingin memfokuskan kedua obyek yang dekat dan jauh dari kamera, maka aperture (bukaan) lensa harus dipersempit, dan jika kita hanya ingin memfokuskan satu obyek saja (obyek yang dekat atau yang jauh saja), maka bukaan lensa harus diperlebar.

Jadi kesimpulannya adalah saat dihadapkan dengan kondisi cahaya yang tidak cukup, maka sensor kamera dipekakan yang berarti nilai ISO dinaikkan. Saat dihadapkan dengan kondisi obyek yang bergerak cepat, maka lama cahaya mengenai sensor kamera dipercepat. Saat ingin menajamkan semua obyek, maka persempitlah aperture lensa.

Hubungan Antara Ketiga Komponen, Kelebihan dan Kekurangannya

To Be Continued…

Kamis, 03 Maret 2022

Manusia Mirip Keramik

Ilustrasi 1 : Bibir
Sumber foto: Angelina Jolie (Lelabbra di Angelina Jolie on Facebook)
Keramik (www.unsplash.com

Dari judul tulisan ini, mungkin beberapa pembaca sudah bisa menebak isinya. Tulisan ini muncul akibat kebingungan dan keresahan yang penulis alami setelah berhari-hari berhadapan dengan keramik-keramik untuk diinput ke dalam database lab. Sebagai seorang alumni arkeologi yang mungkin karena nasib sehingga lebih sering dihadapkan dengan persoalan-persoalan applied archaeology dan IT ketimbang pure archaeology, saya sempat dibuat kaget oleh sebuah realita. Saat melihat plastik klip (masyarakat umum menyebutnya dengan istilah kantung obat) yang—dengan menggunakan spidol permanen—bertuliskan kurang lebih seperti ini:

“Fragmen Tembikar (Badan)”

“Fragmen Tembikar (Bibir)”

“Fragmen Tembikar (Kaki)”

Lima atau mungkin tujuh tahun telah berlalu semenjak penulis berpisah dengan persoalan-persoalan pure archaeology, istilah tersebut masih digunakan sampai sekarang, dan yang lebih ironisnya lagi entah mengapa persoalan ini baru dipersoalkan.

Realitas ini sekaligus membuat saya kagum terhadap pencipta terminologi bagian-bagian keramik. Ia adalah orang yang hebat, karena istilah yang diciptakannya masih bertahan hingga kini.

Dalam buku panduan keramik, diuraikan istilah-istilah untuk menyebut bagian-bagian keramik, yaitu bibir, tepian, leher, karinasi, badan, dasar, kaki, pegangan, cerat, kupingan, dan pundak. Ada dua hal yang menarik dari terminologi tersebut. Pertama adalah ide yang menerapkan nama-nama bagian tubuh manusia ke dalam keramik. Kedua adalah karena sayangnya keramik tidak seutuhnya mirip dengan manusia, maka diberikanlah istilah tambahan seperti karinasi, dasar, pegangan, dan cerat.

Bagian-bagian Keramik
(Puslitarkenas, 1991, hlm.10)

Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada baiknya persoalan yang diutarakan di sini dikembalikan ke pribadi pembaca masing-masing. Apakah para pembaca yang Budiman merasa nyaman jjika bagian pinggir keramik disebut dengan bibir? Apakah nyaman jika bagian atas keramik disebut dengan pundak, leher, dan bagian lainnya disebut dengan kuping? Apakah nyaman jika bagian bawah keramik disebut dengan kaki? Sebagai seorang yang lebih cenderung berpikir menggunakan otak kanan yang imajinatif, penulis sendiri merasa tidak nyaman dengan istilah-istilah tersebut.

Sebagai penutup, persoalan yang diutarakan melalui tulisan ini dapat diibaratkan sebutir pasir di alam semesta. Hanyalah persoalan kecil di dalam dunia arkeologi. Oleh karenanya, jika dianggap tidak penting, silahkan dilupakan, beserta penulisnya.

Selasa, 01 Maret 2022

Harga Sebuah Usia

Sumberfoto: www.unsplash.com


Sering kita mengucapkan “Selamat Ulang Tahun. Semoga Panjang Umur” dengan harapan bahwa orang yang diberi ucapan tersebut memperoleh umur yang panjang. Umur yang panjang diartikan sebagai jatah hidup terpanjang yang dapat kita raih. Namun terdapat makna usia yang berbeda menurut sebuah kisah yang penulis kutip dari sebuah buku berjudul “Kamu Bukan Bintang: 10 Hal yang Menjadikanmu Pecundang” karya Ragil Romly. Berikut adalah kisahnya.

Ada sebuah kisah tentang usia. Dua orang kakak beradik melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain. Sepanjang perjalanan mereka berdua bertemu dengan berbagai macam orang. Di kota pertama, mereka bertemu dengan penggali sumur. Penggali itu ada di bawah sumur dan berharap ada seseorang yang mengulurkan tali dari atas karena talinya putus saat ia berusaha naik ke atas. Sang kakak meminta adiknya agar tetap berjalan, sementara sang adik merasa iba dengan teriakan minta tolong dari bawah sumur. Ia kembali menuju sumur yang dilewatinya dan membantu penggali sumur naik ke permukaan sumur.

Penggali sumur bersyukur. Ia berterima kasih kepada lelaki muda itu dan memberi imbalan sekantung air sebagai perbekalan lelaki muda itu. Lelaki itu menerimanya dan segera menyusul sang kakak yang berjalan mendahuluinya.

Di kota berikutnya, mereka bertemu dengan seorang kafilah dagang yang kehabisan air. Kafilah itu merasa haus dan berharap kakak beradik itu memberinya seteguk air. Sang kakak berfikir sejenak, air yang dibawanya tidak cukup banyak sementara mereka masih harus menempuh satu kota lagi untuk mencapai kota tujuan mereka. Ia memutuskan pergi sementara sang adik memberi air kepada kafilah dagang tersebut. Kafilah itu lalu memberi segenggam gandum sebagai imbalan atas air yang diberikan oleh adik itu.

Sampai satu kota terakhir, sebelum tiba di kota tujuan, mereka berdua bertemu dengan pengemis wanita berpenyakit kusta. Pengemis itu lapar dan berharap ada seseorang yang memberinya makanan untuk bertahan hidup. Sang kakak memalingkan muka dari pengemis itu, sementara sang adik memberikan segenggam gandum yang diperoleh dari kafilah dagang yang ditemuinya, beserta jubahnya agar penyakit kusta pengemis wanita itu tidak mengganggu orang-orang di sekitarnya. Pengemis itu berterima kasih.

Setiba di kota tujuan keduanya memulai usaha mereka. Selama setahun mereka berdagang hingga menjadi saudagar kaya. Dagangan mereka menyilaukan mata perampok hingga membuat perampok mengambil paksa barang dagangannya. Sang adik meninggal saat ia berusaha menasihati perampok agar berusaha. Sementara sang kakak pergi melarikan diri. Ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke kotanya tanpa bekal apa-apa, hanya dengan pakaian yang berlumuran darah.

Tiba di kota pertama sebelum sampai di kota tujuannya, luka sang kakak membusuk. Ia tidak memiliki pakaian ganti dan akhirnya hanya duduk di sudut kota untuk meminta belas kasihan. Seorang penjual roti wanita tiba di sisinya. Ia menghampiri laki-laki itu dan memberikan sebuah jubah baru yang bersih sebagai ganti jubahnya yang berlumuran darah.

Kakak itu terkejut dan mengajukan pertanyaan “Mengapa Anda begitu peduli kepada saya?”. “Sudah menjadi kewajiban saya,” jawab sang wanita. “Setahun yang lalu saya sangat miskin hingga seorang laki-laki memberi saya jubah ini dan segenggam gandum. Dari gandum itu saya buat roti. Setengahnya saya makan dan setengahnya saya jual. Saya juga gadaikan jubah yang diberikan laki-laki itu untuk biaya pengobatan. Saya sehat dan dapat bekerja kembali, hingga akhirnya saya tebus kembali jubah yang diberikan lelaki itu. Saya berjanji untuk mengembalikan kembali jubah itu jika saya bertemu dengannya. Saya berharap bertemu dengannya tapi ternyata ia tidak ada. Ia mirip Anda. Anda boleh pakai jubah ini karena Anda mengingatkan saya pada kondisi awal saya.”

Sang kakak terenyuh. Ia melanjutkan perjalanannya, berterima kasih kepada wanita yang memberinya jubah, dan bersyukur atas kebajikan yang dilakukan laki-laki yang mirip dengannya. Sampai di kota berikutnya, perutnya merasa lapar. Ia melirik dompetnya dan tidak menemukan sekeping uangpun di sana. Ia melihat seorang saudagar dan berharap bisa menjual jubah yang diberikan wanita yang ditemui di kota sebelumnya untuk mendapatkan sepotong roti. Saudagar itu mengamati laki-laki itu dan akhirnya memberikan roti gratis dari gandum yang dibuatnya.

“Terima kasih atas rotinya. Berapa yang harus saya bayar atas roti yang saya makan ini?” tanyanya. “Tidak perlu,” jawab sudagar. “Jubah yang Anda kenakan mengingatkan saya pada orang yang saya temui setahun yang lalu. Saat itu saya kehausan dan tidak mungkin sampai pada kota tujuan saya. Jika saya tidak memeroleh seteguk air dari orang yang mengenakan jubah seperti Anda mungkin saya tidak akan selamat dari teriknya matahari gurun. Saya bersyukur atas kebaikannya dan berjanji akan memberikan apapun kepada orang yang memberi saya minum, yaitu kepada orang yang mengenakan jubah seperti yang Anda kenakan. Tapi saya tidak pernah menemukan lelaki seperti itu lagi. Bawalah kantung air ini. Mungkin ini akan berguna bagi Anda.”

Sang kakak berjalan dengan membawa sekantung air. Namun hari itu matahari sangat terik dan ia telah menghabiskan air di seluruh kantungnya meski belum sampai ke kota asal tujuannya. Iapun pingsan saat ia melihat sebuah sumur yang berjarak seratus meter di depannya. Tiba-tiba tenggorokannya yang kering dibasahi air. Ia meneguk air itu dan membuka matanya hingga melihat seorang laki-laki yang memberinya minum.

“Mengapa Anda begitu baik?”

“Ini semua karena saudaramu,” jawab lelaki itu.

“Saudaraku?” tanyanya.

“Ya,” jawabnya. “Setahun yang lalu saat kau hanya melongokku dari atas sumur dan tidak kembali ketika aku meminta bantuanmu naik ke atas, saudaramu kembali kepadaku untuk membantuku naik ke atas sumur. Aku ingat kau karena kau sangat mirip dengannya. Dan aku semakin yakin bahwa kau saudara orang yang membantuku naik ke atas sumur karena jubah ini adalah jubah yang dikenakan saudaramu. Wadah air ini juga wadah milikku yang kuberikan kepada saudaramu. Benar bukan, kau memiliki saudara laki-laki ? Di mana ia sekarang? Aku ingin sekali berterima kasih kepadanya karena ia telah memberiku kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Sumur yang kubuat kini telah menjadi perkampungan kecil. Orang-orang yang singgah di sini membeli air dari sumurku dan mulai menetap di sekitar sumurku untuk berdagang. Sekarang aku menjadi gubernur di kota yang baru berdiri selama satu tahun ini. Dimana saudaramu? Aku tak akan pernah lupa segala kebaikannya.”

Sang kakak terdiam. Tiba-tiba air matanya menitik saat mengingat adiknya yang telah meninggal dunia ketika seluruh dagangannya dijarah perampok. Tamat.

Umur sang kakak lebih panjang dari sang adik, akan tetapi ia tidak memberi kebermanfaatan bagi orang lain. Sang adik telah meninggal, namun ia masih hidup di dalam fikiran orang-orang yang pernah ditemuinya.

Dalam hidup ini, terdapat juga orang-orang yang telah meninggal lima, seratus, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun ia masih tetap hidup di dalam fikiran orang-orang. Sebabnya adalah amal yang telah dilakukannya semasa hidup di dunia. Akhir kata, mengutip perkataan dari sebuah buku “Kualitas hidup seseorang seringkali terlihat pada saat akhir hayatnya. Apakah akan banyak orang yang bersedih di atas pemakamanya atau tidak.” Semoga tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi para pembaca dan juga bagi penulis sendiri. Wassalam.