Klik "ide judul blog" untuk membaca tulisan ide dari judul blog...

Minggu, 25 Maret 2012

Ide Judul Blog

Sumber gambar: wafaaulia.wordpress.com

Sebelum blog ini dibuat, terlebih dahulu dibuat perencanaan. Apa alamat blog, Apa judul blog, apa kategori blog , bagaimana tampilan blog dan apa tujuan blog. Perencanaan yang dibuat adalah: alamat blog: "belajarjadiarkeolog", judul blog: "Belum Ada Judul", kategori blog: blog hobi, tampilan blog adalah warna kuning dan hitam. Kategori hobi yang diputuskan adalah arkeologi. Tujuan blog adalah untuk memediasi pemikiran-pemikiran penulis dan untuk berbagi pengetahuan kepada publik. Seiring berjalannya waktu, maka blog ini berkembang seperti yang dapat dilihat sekarang.
Blog ini dibuat pada tahun 2010. Namun, judulnya baru ada 'sekarang'.
Terusik oleh perkataan seorang dosen/ guru dalam perkuliahan yang mengatakan bahwa: “.....jangan lupakan jati diri kalian sebagai seorang arkeolog”, maka muncullah ide judul blog ini yang sebelumnya berjudul “Belum Ada Judul”.
Isi dari blog ini adalah gagasan-gagasan atas pemikiran-pemikiran penulis. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Arkeologi (calon arkeolog), Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Hasanuddin. Dengan berdasarkan tema blog serta latar belakang penulis, maka tulisan dalam blog ini seharusnya tulisan-tulisan yang membahas tentang arkeologi. Akan tetapi, pemikiran-pemikiran penulis yang dikomunikasikan melalui blog ini diprediksikan tidaklah hanya pemikiran-pemikiran tentang arkeologi.
Judul blog ini mempunyai makna. Kata pertama makna kata "tulisan" pada umumnya. Makna dari kata ke dua adalah bahwa jati diri penulis adalah seorang arkeolog. Ide dari kata ke dua sebenarnya ukuran tulisannya ingin dibuat lebih kecil untuk memaknai penulis yang masih calon arkeolog. Akan tetapi karena penulis tidak mengetahui cara memperkecilnya, maka ide itu digantikan dengan meng-kapital-kan tulisan kata pertama dan tidak meng-kapital-kan tulisan pada kata ke dua. Sehingga bentuk judul blog ini adalah sebagai berikut:
"TULISAN arkeolog"
atau seperti yang dapat dilihat pada header blog.
Judul blog ini memberi pesan kepada penulis bahwa walaupun isi dari blog ini tidak sepenuhnya berisi tentang arkeologi, namun penulis tidak boleh melupakan jati dirinya sebagai seorang arkeolog.

Rabu, 21 Maret 2012

Arkeologi Sebagai Suatu Ilmu

Sumber foto: www.goodreads.com

         Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, kita selalu dihadapkan oleh berbagai masalah. Misalnya: bangun dari tidur ingin menyikat gigi, tetapi odol habis; ingin mandi pagi, tetapi sabun habis; ingin memakai baju, tetapi baju belum dicuci; ingin berangkat ke kampus atau ke tempat kerja dengan motor, tetapi bensin tidak cukup. Namun, itu semua dapat diatasi dengan adanya fikiran. Manusia berfikir saat menghadapi masalah. Baik itu dari masalah yang sangat rumit, hingga masalah yang tidak disadari (masalah sepele).
Dalam melakukan kegiatan berfikir, manusia menggunakan cara yang berbeda-beda. Zaman dulu, dalam menjawab masalah (persoalan hidup) seperti: Apa yang menyebabkan gempa bumi? Apa yang menyebabkan tornado? Apa yang menyebabkan kilat dan guntur?, orang-orang berfikir secara mitologi. Untuk menjawab persoalan tersebut, orang-orang berfikir secara tidak rasional. Sehingga muncullah konsep dewa.
Zaman setelahnya, pemikiran manusia berkembang. Dalam menjawab persoalan hidup, manusia berfikir secara rasional, yang kemudian dikenal dengan istilah rasionalisme, yaitu berfikir dengan hanya mengandalkan rasio. Dalam perkembangan pemikiran tersebut, di sisi lain, timbullah pemikiran empirisme, yaitu cara berfikir yang hanya mengandalkan panca indera. Kedua cara berfikir ini adalah pro dan kontra. Kedua pemikiran yang pro kontra tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin mendapatkan pengetahuan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup. Masing-masing penganut kedua cara berfikir itu saling mempertahankan cara berfikirnya. Namun, dalam permasalahan tersebut, muncullah jalan tengahnya; cara berfikir keilmuan, yaitu gabungan antara pemikiran rasionalisme dengan pemikiran empirisme, yang berangkat dari pernyataan bahwa kedua cara berfikir tersebut mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Hasil dari proses berfikir adalah pengetahuan. Nilai dari pengetahuan yang diperoleh tergantung dari cara memperolehnya. Sehingga pengetahuan terbagi-bagi. Salah satunya adalah pengetahuan ilmu, yang kemudian dinamakan ilmu pengetahuan.
Setelah melalui proses yang panjang, muncullah berbagai ilmu, seperti: Ilmu matematika, Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, Ilmu Astronomi, Ilmu Geologi, Ilmu Biologi, dan Ilmu Sosial. Ilmu-ilmu tersebut adalah klasifikasi dari apa yang ingin diketahui. Misalkan: Ilmu Sosial, ingin mengetahui perilaku manusia; Ilmu Geologi, ingin mengetahui bumi; Ilmu Biologi, ingin mengetahui fisik makhluk hidup; Ilmu Kimia, ingin mengetahui hakekat benda; Ilmu Astronomi, ingin mengetahui luar angkasa. Hasil dari cara berfikir keilmuan akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Cara berfikir keilmuan inilah yang kemudian digunakan hingga saat ini.
Ilmu tidak bersifat tertutup. Ilmu adalah untuk semua orang. Semua orang dapat mempelajari cara berfikir keilmuan untuk menjawab persoalan-persoalan hidupnya. Dalam proses menjawab persoalan hidup dengan cara berfikir keilmuan, ada empat langkah yang harus dilalui, yaitu: perumusan masalah, penyusunan hipotesis, deduksi dari hipotesis, kemudian pengujian.
Masalah atau persoalan hidup yang ingin dijawab diabstraksikan terlebih dahulu ke dalam bahasa. Misalkan: “mengapa si Baco’ yang gemuk, tidak cepat larinya?”. Jika diperhatikan, masalah tersebut mempunyai hubungan yang logis. Variabel X = si Baco’ yang gemuk, variabel Y = tidak cepat larinya. Di sinilah hipotesis disusun. Di sinilah cara berfikir rasioanalis diterapkan. Ilmu pengetahuan yang menyatakan bahwa semakin banyak beban berat (lemak) seseorang akan mengakibatkan gerakannya semakin lamban, akan sangat membantu dalam menjawab permasalahan tersebut. Hipotesis tersebut kemudian dideduksikan. Orang yang berbeban berat (gemuk) gerakannya lamban disebut premis mayor. Si Baco’ yang berbadan gemuk disebut premis minor. Dari kedua pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan logis: “Si Baco’ yang berbadan gemuk gerakannya lamban”. Implikasi dari gerakan yang lamban adalah lari yang tidak cepat. Namun, pernyataan tersebut hanya berupa hipotesis. Belum diuji. Oleh karena itu, masuklah ke tahap pengujian untuk membenarkan pernyataan tersebut. Maka diterapkanlah cara berfikir empiris. Fakta yang mendukung dari pernyataan “Si Baco’ yang berbadan gemuk gerakannya lamban” harus dicari. Misalkan: Jika memang benar si A gerakannya lamban, maka pada saat lomba lari dengan orang-orang yang badannya lebih ringan dari dia, si A akan berada di urutan terbelakang. Fakta tersebut akan membenarkan hipotesis. Sehingga diperolehlah ilmu pengetahuan.
Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam adalah dua ilmu yang telah berkembang sejak dulu. Di antara kedua ilmu ini, ilmu alamlah yang lebih maju. Ilmu alam sudah mempunyai bahasa matematika. Contohnya teori yang sudah sangat terkenal, yaitu teori relativitas Einstein, yang menggunakan bahasa matematika: E = MC2. Sebuah ilmu dapat dikatakan mengalami kemajuan, apabila dalam ilmu tersebut sudah mempunyai bahasa matematika.
Ilmu sosial tidak seperti ilmu alam yang sudah mempunyai bahasa matematika. Ilmu sosial masih dalam tahap perkembangan. Obyek yang ditelitinya tidak bersifat tetap, melainkan berubah-ubah. Sehingga bisa dikatakan tidak memungkinkan untuk menggunakan bahasa matematika. Akan tetapi, akan sangat menggembirakan jikalau suatu saat nanti, ilmu sosial sudah mempunyai bahasa matematika.
Kebudayaan adalah salah satu obyek yang dipelajari dalam ilmu sosial. Ilmu pengetahuan tentang kebudayaan mempunyai manfaat. Misalnya: jika kita memiliki ilmu pengetahuan tentang budaya orang-orang Jamaika, misalnya: sifatnya, norma-norma yang dianutnya, dan religinya, maka kita akan mudah bergaul dengan mereka. Dengan begitu, kita akan nyaman tinggal di daerahnya. Namun, kebudayaan itu berubah-ubah karena sifat manusia yang saling mempengaruhi. Tidak menutup kemungkinan saat ini kita belajar budaya bela diri Capoera di Jamaika, namun 10 tahun mendatang, mereka sudah meninggalkan budaya bela diri tersebut, diakibatkan karena teknologi yang sudah semakin maju, sehingga mengakibatkan orang-orang tersebut menjadi semakin memanjakan diri, dan terlena dengan teknologi.
Arkeologi adalah bagian dari ilmu sosial. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari masa lalu melalui benda materialnya. Mempelajari masa lalu itu sulit, karena kita tidak bisa menyaksikannya. Sulit rasanya untuk mempercayai ilmu pengetahuan masa lalu. Sulit, jikalau proses untuk mendapatkannya tidak dipaparkan. Jadi, yang menjadi tolak ukur kebenaran ilmu pengetahuan masa lalu adalah cara memperolehnya; bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan tersebut.
Sepengetahuan penulis, arkeologi belum memiliki bahasa matematika. Harapan penulis, arkeologi sudah mempunyai bahasa matematika—jikalau memang belum ada—yang akan membuat kemajuan dalam ilmu arkeologi. Bangun Bina Bakti Arkeologi Jaya !

Sebuah Cerita: Proses Memahami Kebudayaan

sumber foto: dinnafitriananoris.wordpress.com

Tersebutlah Lukman Hakim, umur 25 tahun. Suatu ketika, pukul 19.00, Lukman pulang dari tempat kerjanya. Dalam perjalanan, yang terbayang di pikirannya adalah tempat tidur untuk beristirahat. Namun, sesampainya di halaman rumah, ia tiba-tiba dihadang oleh istrinya yang sedang berdiri tepat di depan pintu rumah.
Istri: “paak! Kenapa pulang telat!?”
Lukman: “Lembur. Banyak pekerjaan”
Lukman lalu melewati istrinya dan segera ke kamar tidur, melepas pakaian kerja dan tasnya. Namun istrinya mengikutinya dari belakang sambil menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan kecurigaan. Tidak tahan dengan sifat istrinya, ia lalu mengambil jaketnya kemudian berjalan ke luar—diikuti oleh istrinya—menuju motor Jupiter MX-nya.
Istri: “mau ke mana paak?”
Tanpa berbicara, Lukman menancap gas. Ia hendak menuju sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari rumahnya.
Pelayan: “pesan apa pak?” sambil menyalurkan menu
Lukman: “kopi susu!”
Pelayan: “tunggu sebentar yaa”
Beberapa menit kemudian, pesanan sudah datang. Dengan kopi susu yang telah tersedia di atas meja, di depan matanya, pikirannya tiba-tiba teralihkan. Pikirannya jadi teralihkan kepada hal-hal yang menyangkut kebudayaan. Itu mungkin karena baru-baru saja ia mengumpulkan data-data untuk menyusun sistem informasi kebudayaan Makassar, yang membuatnya telat pulang ke rumah. Budaya adalah hasil dari sistem ide manusia. Kebudayaan adalah hal-hal yang menyangkut tentang budaya. Lukman bertanya-tanya dalam hati: “untuk apa gelas ini dibuat?”. Bisa saja orang dengan mudah mengatakan, ya agar orang-orang dapat mempergunakannya sebagai wadah untuk tempat air atau singkatnya, untuk mensejahterahkan masyarakat. Namun Lukman tidak berpikiran seperti itu.
“bisa saja orang berpikir membuat, memproduksi gelas, bukan untuk mensejahterahkan masyarakat. Akan tetapi hanya untuk memperoleh keuntungan”.
Sembari memperhatikan wujud gelas tersebut lebih dalam, ia melihat sebuah tulisan: “Glass Production Matoo’ ”. Ia jadi tersadar. Ia teringat, bahwa pabrik Glass Production Mattoo—yang berada di jalan Perintis Kemerdekaan, jauh dari rumahnya—adalah pabrik yang pernah ia kunjungi dalam rangka bersilaturahim dengan teman lamanya, pemilik pabrik tersebut. Dalam kunjungan tersebut, terlintas pertanyaan dalam benaknya: untuk apa temanku mendirikan pabrik ini? Karena ia mengenal watak temannya ini, ia berasumsi bahwa pasti tujuan produksi barang-barang glass ini adalah hanya untuk memperoleh uang, bukan untuk mensejahterahkan masyarakat. Oleh karena itu, ia tidak menggunakan metode wawancara langsung. Lukman berbincang-bincang, menggiringnya ke masa lalu saat masa kuliah dulu, hingga sampai kepada pembicaraan: mengapa dia mendirikan pabrik tersebut. Akhirnya Lukman memperoleh jawaban atas pertanyaannya. Ternyata temannya itu mendirikan pabrik produksi glass hanya untuk memperoleh uang. Walaupun asumsi Lukman sangat kuat, namun ia tidak terburu-buru untuk menarik kesimpulan.
Pikiran Lukman kembali ke saat sekarang: “Saya ingat, glass ini diproduksi hanya untuk memperoleh keuntungan! Karena si pemilik pabrik ini adalah orang yang tergila-gila dengan uang”.
Setelah itu, ia melihat-lihat, memperhatikan, mengamat-amati gelas-gelas—orang-orang yang sedang menikmati minuman—di sekelilingnya, dan seluruh gelas-gelas yang terjangkau oleh penglihatannya. Tanpa sadar, ia mengklasifikasikan gelas-gelas tersebut. Gelas kecil untuk minuman jenis kopi, gelas sedang untuk minuman jenis teh, dan gelas besar untuk minuman jenis jus. Akhirnya, Lukman mendefenisikan bahwa gelas adalah wadah untuk kopi, teh, dan jus yang selanjutnya ia kategorikan ke dalam kategori minuman. Beberapa millidetik kemudian, ia jadi teringat wadah tempat air dari keramik yang ada di rumahnya. Sehingga, terlintas pertanyaan di benaknya:
“Mengapa orang kepikiran untuk membuat wadah air?”
Lukman: “Untuk menjawab ini, saya harus ke konteks waktu dan pengaruh lingkungan terhadap manusia”.
Pengaruh lingkungan terhadap manusia adalah gambaran lingkungan  yang mempengaruhi manusia sehingga menghasilkan sebuah sistem ide wadah air. Konteks waktu adalah masa saat sebelum wadah air diciptakan.
Saat itu juga, Lukman jadi teringat pelajaran-pelajaran yang didapatkannya saat di bangku kuliah dulu. Dengan itu, ia lalu mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Namun setelah mendapatkan jawabannya, pertanyaan berkembang lagi dalam benaknya. “Mengapa ide wadah air adalah dari glass dan dari keramik?”, “mengapa bukan ide wadah air dari bahan lain, seperti: besi, batu, dan lain-lain?” Ia kembali ke cara penyelesaian sebelumnya, yaitu konteks waktu, dan pengaruh lingkungan. Sesaat kemudian, tanpa sengaja ia melihat sebuah judul tulisan (“Sejarah Wadah Tempat Air”) di sebuah majalah yang jaraknya relatif jauh, yang terletak di rak, di salah satu sisi kafe. Ia lalu bersegera menuju rak tersebut, mengambil majalah tersebut, lalu kembali ke tempat duduknya. Sambil menikmati kopi susunya, ia membaca majalah tersebut. Dengan membaca majalah tersebut, akhirnya ia mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tadi. Ia pun lalu merasa senang, dan sudah kepikiran ingin pulang ke rumah. Tapi saat itu juga, tiba-tiba seorang wanita berdiri dari tempat duduknya sambil menghantam meja. Wanita tersebut membentak-bentak pasangannya yang sedang bersamanya. Saat itu juga, wanita tersebut mengambil gelas yang berisikan kopi yang ada di depannya lalu menumpahkan ke baju pasangannya, lalu melempar gelas tersebut ke lantai. Pelayan lalu menghampiri pasangan ini, dan meminta agar mereka keluar. Mereka pun keluar. Saat peristiwa tersebut, pertanyaan yang terlintas dalam benak Lukman adalah bukan apa yang sedang terjadi dengan pasangan tersebut? melainkan mengapa gelas yang fungsinya sebagai wadah tempat air, digunakan sebagai pelampiasan amarah? Melihat kejadian tersebut, Lukman lalu berkesimpulan bahwa ternyata gelas mempunyai dua fungsi: sebagai wadah tempat air, dan sebagai pelampiasan amarah. Berkembanglah pertanyaan lagi dalam benak Lukman: “mengapa bisa wanita tersebut menggunakan gelas sebagai alat untuk pelampiasan amarah?”. Ternyata penyebabnya adalah lagi-lagi lingkungan (pasangannya). Setelah peristiwa tersebut, ia lalu beranjak dari tempat duduknya, membayar, lalu—dengan masih dalam perasaan senang—naik ke motornya hendak pulang. Dalam perjalanan, pikiran Lukman berkembang ke kebudayaan yang tak berwujud. Sikap istrinya atas keterlambatannya itu pula adalah kebudayaan. Sudah 5 kali ia telat pulang, dan sebanyak itu pula istrinya bersifat curiga terhadap suaminya atas keterlambatannya pulang. Lukman lalu menempatkan dirinya ke dalam konteks lingkungan dan menempatkan istrinya ke dalam konteks manusia yang menciptakan kebudayaan karena pengaruh lingkungan. Selanjutnya, timbullah pertanyaan: “Mengapa istrinya menciptakan kebudayaan perilaku kecurigaan terhadap dirinya?” Karena ia memang mengenal istrinya, ia lalu mendapatkan jawaban bahwa perilakunya itu adalah wujud dari rasa cintanya terhadap suaminya. Namun, wujud dari rasa cinta istrinya itulah yang tidak ia sukai. Muncullah ide Lukman untuk menciptakan budaya saling mempercayai antara ia dan istrinya.
Saat itu juga, tak terasa ia telah sampai di depan rumahnya. Ia lalu memasukkan motornya ke halaman rumah, lalu hendak masuk ke rumah. Saat memasuki rumah, ia melihat istrinya sedang duduk dengan ekspresi wajah sedih. Ia pun menghampiri istrinya, duduk di sampingnya, lalu meminta maaf atas kepergiannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Istrinya pun meminta maaf atas perilakunya tadi. Saat itu pula, Lukman menyatakan gagasan budaya saling mempercayai agar hal serupa tidak terulang lagi. Istrinya pun sepakat dengan gagasan tersebut. Terciptalah budaya saling mempercayai di keluarga Lukman Hakim. Tamat...