Klik "ide judul blog" untuk membaca tulisan ide dari judul blog...

Kamis, 03 Maret 2022

Manusia Mirip Keramik

Ilustrasi 1 : Bibir
Sumber foto: Angelina Jolie (Lelabbra di Angelina Jolie on Facebook)
Keramik (www.unsplash.com

Dari judul tulisan ini, mungkin beberapa pembaca sudah bisa menebak isinya. Tulisan ini muncul akibat kebingungan dan keresahan yang penulis alami setelah berhari-hari berhadapan dengan keramik-keramik untuk diinput ke dalam database lab. Sebagai seorang alumni arkeologi yang mungkin karena nasib sehingga lebih sering dihadapkan dengan persoalan-persoalan applied archaeology dan IT ketimbang pure archaeology, saya sempat dibuat kaget oleh sebuah realita. Saat melihat plastik klip (masyarakat umum menyebutnya dengan istilah kantung obat) yang—dengan menggunakan spidol permanen—bertuliskan kurang lebih seperti ini:

“Fragmen Tembikar (Badan)”

“Fragmen Tembikar (Bibir)”

“Fragmen Tembikar (Kaki)”

Lima atau mungkin tujuh tahun telah berlalu semenjak penulis berpisah dengan persoalan-persoalan pure archaeology, istilah tersebut masih digunakan sampai sekarang, dan yang lebih ironisnya lagi entah mengapa persoalan ini baru dipersoalkan.

Realitas ini sekaligus membuat saya kagum terhadap pencipta terminologi bagian-bagian keramik. Ia adalah orang yang hebat, karena istilah yang diciptakannya masih bertahan hingga kini.

Dalam buku panduan keramik, diuraikan istilah-istilah untuk menyebut bagian-bagian keramik, yaitu bibir, tepian, leher, karinasi, badan, dasar, kaki, pegangan, cerat, kupingan, dan pundak. Ada dua hal yang menarik dari terminologi tersebut. Pertama adalah ide yang menerapkan nama-nama bagian tubuh manusia ke dalam keramik. Kedua adalah karena sayangnya keramik tidak seutuhnya mirip dengan manusia, maka diberikanlah istilah tambahan seperti karinasi, dasar, pegangan, dan cerat.

Bagian-bagian Keramik
(Puslitarkenas, 1991, hlm.10)

Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada baiknya persoalan yang diutarakan di sini dikembalikan ke pribadi pembaca masing-masing. Apakah para pembaca yang Budiman merasa nyaman jjika bagian pinggir keramik disebut dengan bibir? Apakah nyaman jika bagian atas keramik disebut dengan pundak, leher, dan bagian lainnya disebut dengan kuping? Apakah nyaman jika bagian bawah keramik disebut dengan kaki? Sebagai seorang yang lebih cenderung berpikir menggunakan otak kanan yang imajinatif, penulis sendiri merasa tidak nyaman dengan istilah-istilah tersebut.

Sebagai penutup, persoalan yang diutarakan melalui tulisan ini dapat diibaratkan sebutir pasir di alam semesta. Hanyalah persoalan kecil di dalam dunia arkeologi. Oleh karenanya, jika dianggap tidak penting, silahkan dilupakan, beserta penulisnya.

Selasa, 01 Maret 2022

Harga Sebuah Usia

Sumberfoto: www.unsplash.com


Sering kita mengucapkan “Selamat Ulang Tahun. Semoga Panjang Umur” dengan harapan bahwa orang yang diberi ucapan tersebut memperoleh umur yang panjang. Umur yang panjang diartikan sebagai jatah hidup terpanjang yang dapat kita raih. Namun terdapat makna usia yang berbeda menurut sebuah kisah yang penulis kutip dari sebuah buku berjudul “Kamu Bukan Bintang: 10 Hal yang Menjadikanmu Pecundang” karya Ragil Romly. Berikut adalah kisahnya.

Ada sebuah kisah tentang usia. Dua orang kakak beradik melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain. Sepanjang perjalanan mereka berdua bertemu dengan berbagai macam orang. Di kota pertama, mereka bertemu dengan penggali sumur. Penggali itu ada di bawah sumur dan berharap ada seseorang yang mengulurkan tali dari atas karena talinya putus saat ia berusaha naik ke atas. Sang kakak meminta adiknya agar tetap berjalan, sementara sang adik merasa iba dengan teriakan minta tolong dari bawah sumur. Ia kembali menuju sumur yang dilewatinya dan membantu penggali sumur naik ke permukaan sumur.

Penggali sumur bersyukur. Ia berterima kasih kepada lelaki muda itu dan memberi imbalan sekantung air sebagai perbekalan lelaki muda itu. Lelaki itu menerimanya dan segera menyusul sang kakak yang berjalan mendahuluinya.

Di kota berikutnya, mereka bertemu dengan seorang kafilah dagang yang kehabisan air. Kafilah itu merasa haus dan berharap kakak beradik itu memberinya seteguk air. Sang kakak berfikir sejenak, air yang dibawanya tidak cukup banyak sementara mereka masih harus menempuh satu kota lagi untuk mencapai kota tujuan mereka. Ia memutuskan pergi sementara sang adik memberi air kepada kafilah dagang tersebut. Kafilah itu lalu memberi segenggam gandum sebagai imbalan atas air yang diberikan oleh adik itu.

Sampai satu kota terakhir, sebelum tiba di kota tujuan, mereka berdua bertemu dengan pengemis wanita berpenyakit kusta. Pengemis itu lapar dan berharap ada seseorang yang memberinya makanan untuk bertahan hidup. Sang kakak memalingkan muka dari pengemis itu, sementara sang adik memberikan segenggam gandum yang diperoleh dari kafilah dagang yang ditemuinya, beserta jubahnya agar penyakit kusta pengemis wanita itu tidak mengganggu orang-orang di sekitarnya. Pengemis itu berterima kasih.

Setiba di kota tujuan keduanya memulai usaha mereka. Selama setahun mereka berdagang hingga menjadi saudagar kaya. Dagangan mereka menyilaukan mata perampok hingga membuat perampok mengambil paksa barang dagangannya. Sang adik meninggal saat ia berusaha menasihati perampok agar berusaha. Sementara sang kakak pergi melarikan diri. Ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke kotanya tanpa bekal apa-apa, hanya dengan pakaian yang berlumuran darah.

Tiba di kota pertama sebelum sampai di kota tujuannya, luka sang kakak membusuk. Ia tidak memiliki pakaian ganti dan akhirnya hanya duduk di sudut kota untuk meminta belas kasihan. Seorang penjual roti wanita tiba di sisinya. Ia menghampiri laki-laki itu dan memberikan sebuah jubah baru yang bersih sebagai ganti jubahnya yang berlumuran darah.

Kakak itu terkejut dan mengajukan pertanyaan “Mengapa Anda begitu peduli kepada saya?”. “Sudah menjadi kewajiban saya,” jawab sang wanita. “Setahun yang lalu saya sangat miskin hingga seorang laki-laki memberi saya jubah ini dan segenggam gandum. Dari gandum itu saya buat roti. Setengahnya saya makan dan setengahnya saya jual. Saya juga gadaikan jubah yang diberikan laki-laki itu untuk biaya pengobatan. Saya sehat dan dapat bekerja kembali, hingga akhirnya saya tebus kembali jubah yang diberikan lelaki itu. Saya berjanji untuk mengembalikan kembali jubah itu jika saya bertemu dengannya. Saya berharap bertemu dengannya tapi ternyata ia tidak ada. Ia mirip Anda. Anda boleh pakai jubah ini karena Anda mengingatkan saya pada kondisi awal saya.”

Sang kakak terenyuh. Ia melanjutkan perjalanannya, berterima kasih kepada wanita yang memberinya jubah, dan bersyukur atas kebajikan yang dilakukan laki-laki yang mirip dengannya. Sampai di kota berikutnya, perutnya merasa lapar. Ia melirik dompetnya dan tidak menemukan sekeping uangpun di sana. Ia melihat seorang saudagar dan berharap bisa menjual jubah yang diberikan wanita yang ditemui di kota sebelumnya untuk mendapatkan sepotong roti. Saudagar itu mengamati laki-laki itu dan akhirnya memberikan roti gratis dari gandum yang dibuatnya.

“Terima kasih atas rotinya. Berapa yang harus saya bayar atas roti yang saya makan ini?” tanyanya. “Tidak perlu,” jawab sudagar. “Jubah yang Anda kenakan mengingatkan saya pada orang yang saya temui setahun yang lalu. Saat itu saya kehausan dan tidak mungkin sampai pada kota tujuan saya. Jika saya tidak memeroleh seteguk air dari orang yang mengenakan jubah seperti Anda mungkin saya tidak akan selamat dari teriknya matahari gurun. Saya bersyukur atas kebaikannya dan berjanji akan memberikan apapun kepada orang yang memberi saya minum, yaitu kepada orang yang mengenakan jubah seperti yang Anda kenakan. Tapi saya tidak pernah menemukan lelaki seperti itu lagi. Bawalah kantung air ini. Mungkin ini akan berguna bagi Anda.”

Sang kakak berjalan dengan membawa sekantung air. Namun hari itu matahari sangat terik dan ia telah menghabiskan air di seluruh kantungnya meski belum sampai ke kota asal tujuannya. Iapun pingsan saat ia melihat sebuah sumur yang berjarak seratus meter di depannya. Tiba-tiba tenggorokannya yang kering dibasahi air. Ia meneguk air itu dan membuka matanya hingga melihat seorang laki-laki yang memberinya minum.

“Mengapa Anda begitu baik?”

“Ini semua karena saudaramu,” jawab lelaki itu.

“Saudaraku?” tanyanya.

“Ya,” jawabnya. “Setahun yang lalu saat kau hanya melongokku dari atas sumur dan tidak kembali ketika aku meminta bantuanmu naik ke atas, saudaramu kembali kepadaku untuk membantuku naik ke atas sumur. Aku ingat kau karena kau sangat mirip dengannya. Dan aku semakin yakin bahwa kau saudara orang yang membantuku naik ke atas sumur karena jubah ini adalah jubah yang dikenakan saudaramu. Wadah air ini juga wadah milikku yang kuberikan kepada saudaramu. Benar bukan, kau memiliki saudara laki-laki ? Di mana ia sekarang? Aku ingin sekali berterima kasih kepadanya karena ia telah memberiku kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Sumur yang kubuat kini telah menjadi perkampungan kecil. Orang-orang yang singgah di sini membeli air dari sumurku dan mulai menetap di sekitar sumurku untuk berdagang. Sekarang aku menjadi gubernur di kota yang baru berdiri selama satu tahun ini. Dimana saudaramu? Aku tak akan pernah lupa segala kebaikannya.”

Sang kakak terdiam. Tiba-tiba air matanya menitik saat mengingat adiknya yang telah meninggal dunia ketika seluruh dagangannya dijarah perampok. Tamat.

Umur sang kakak lebih panjang dari sang adik, akan tetapi ia tidak memberi kebermanfaatan bagi orang lain. Sang adik telah meninggal, namun ia masih hidup di dalam fikiran orang-orang yang pernah ditemuinya.

Dalam hidup ini, terdapat juga orang-orang yang telah meninggal lima, seratus, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun ia masih tetap hidup di dalam fikiran orang-orang. Sebabnya adalah amal yang telah dilakukannya semasa hidup di dunia. Akhir kata, mengutip perkataan dari sebuah buku “Kualitas hidup seseorang seringkali terlihat pada saat akhir hayatnya. Apakah akan banyak orang yang bersedih di atas pemakamanya atau tidak.” Semoga tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi para pembaca dan juga bagi penulis sendiri. Wassalam.