Konservasi adalah upaya pelestarian. Makna pelestarian yaitu pengabadian/ pengekalan. Sesuatu yang ingin diabadikan itu pastilah mempunyai nilai. Yang menjadi pertanyaan adalah walaupun tidak ada yang abadi di dunia ini, tapi mengapa kita tetap berupaya untuk mengabadikan sesuatu? Konservasi arkeologi adalah upaya pelestarian benda-benda peninggalan masa lalu (artefak).
Karena tujuan konservasi arkeologi adalah ingin mengabadikan—atau lebih tepatnya mempertahankan, mengingat tidak ada yang abadi di dunia ini—artefak, maka konsep pelestarian adalah kegiatan sistematis yang berhubungan dengan perlindungan. Konsep pelestarian yaitu: kegiatan mempertahankan eksistensi, dan kegiatan mempertahankan nilai estetika. Mempertahankan eksistensi artefak caranya adalah dengan mengawetkan. Mempertahankan nilai estetika artefak caranya adalah dengan membersihkan secara berkala dan merawat.
Sesungguhnya yang dipertahankan bukanlah bendanya, melainkan nilai benda itu. Semua artefak attributnya (bentuk, warna, dll) tidak seperti awalnya lagi. Oleh karena itu, selain konservasi, ada yang namanya pra-konservasi. Pra-konservasi adalah bidang dalam arkeologi. Pra-konservasi adalah rekonstruksi. Sebelum mengkonservasi, artefak direkonstruksi terlebih dahulu. Hemat saya, rekonstruksi adalah upaya mengembalikan attribut artefak seperti semula.
Artefak ada yang dapat dipindahtempatkan dan ada yang tidak. Artefak yang tidak dapat dipindahtempatkan itu seperti: bangunan. Artefak yang dapat dipindahtempatkan seperti: arca, dan batu bata. Artefak bangunan kuno. Bangunan kuno, seperti benteng,—berdasarkan hemat saya—biasanya sudah runtuh. Reruntuhan bangunan tersebut, dapat dipindahtempatkan. Hal yang pertama dilakukan untuk mengkonservasi bangunan kuno adalah tahap kegiatan dari prakonservasi/ rekonstruksi, yaitu memindahkan reruntuhan-reruntuhan dari konteksnya. Tujuannya adalah untuk mengamankan atau preservasi. Mengamankan dari apa? Merekonstruksi bangunan kuno membutuhkan waktu yang lama. Karena mengembalikan reruntuhan-reruntuhan, atau yang lebih detailnya attribut-attribut bangunan seperti semula membutuhkan kajian ilmiah. Oleh karena itu, reruntuhan bangunan diamankan terlebih dahulu untuk kemudian diteliti. Jadi kata diamankan pada hakekatnya hanyalah sebuah istilah. Istilah untuk menyebutkan pekerjaan memindah tempatkan reruntuhan bangunan pada tempatnya. Setelah dikaji, bagian-bagian bangunan tersebut ditempatkan pada konteksnya masing-masing, layaknya bermain puzzle. Pekerjaan merekonstruksi ini akan menjadi menyenangkan apabila dianalogikakan dengan permainan puzzle. Setelah rekonstruksi, barulah masuk ke tahap konservasi.
Selain artefak, ternyata eksistensi makhluk hidup juga ingin dipertahankan. Makhluk hidup yang memungkinkan untuk dipertahankan eksistensinya adalah manusia dan hewan. Karena bagian-bagiannya—yang dinamakan fosil—masih dapat ditemukan. Yang dimaksud mempertahankan eksistensi makhluk hidup di sini adalah hanya sebatas mempertahankan eksistensi fosilnya saja. Karena merekonstruksi[1] manusia dan hewan itu serasa tidak mungkin. Tidak mungkin manusia dapat merekonstruksi manusia; tidak mungkin manusia dapat merekonstruksi hewan. Walaupun tidak mungkin merekonstruksi makhluk hidup, tapi arkeolog tetap saja mengupayakannya. Arkeolog menggunakan kemampuannya yang dinamakan imajinasi. Fosil yang telah direkonstruksi dan dikonservasi kemudian disimpan di dalam museum. Untuk sekedar menjawab rasa penasaran (bagaimana wujudnya), dan memuaskan indera penglihatan, maka wujudnya direkonstruksi di dunia digital. Dengan memanfaatkan imajinasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, makhluk hidup diabadikan di dunia digital. Salah satu jenis makhluk hidup—sepengetahuan saya—yang diabadikan di dalam dunia digital adalah dinosaurus.
Untuk apa merekonstruksi artefak? Tiap orang pasti mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Atau mungkin ada beberapa orang yang melakukan pekerjaan rekonstruksi dan konservasi hanya sebatas melaksanakan tugas yang memang sudah menjadi pekerjaannya atau dengan kata kasarnya, untuk mendapatkan uang. Tujuan yang berbeda-beda disebabkan karena kekurangpahaman atau karena mengesampingkan prinsip pelestarian. Inilah yang harus dipahami oleh orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan rekonstruksi dan konservasi arkeologi.
Prinsip adalah dasar yang menjadi dorongan kuat untuk bertindak. Prinsip pelestarian adalah dasar yang menjadi dorongan kuat untuk melakukan pelestarian. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu untuk menyaksikannya serta mengambil pelajaran darinya. Namun, benda-benda peninggalan dari masa lalu menolong kita. Benda-benda tersebut berjasa kepada kita. Benda-benda tersebut memberi kita informasi dari masa lalu. Informasi tersebut akan memberi pelajaran yang akan meningkatkan martabat kita. Karena benda-benda peninggalan masa lalu berjasa kepada kita, maka implikasinya haruslah tidak hanya sebatas ucapan terima kasih, akan tetapi penghormatan terhadap masa lalu. Penghormatan terhadap masa lalu yang termanifestasi oleh pelestarian benda-benda peninggalan dari masa lalu. Prinsip pelestarian yaitu: masa lalu itu sangat bernilai. Jadi, pemahaman bahwa masa lalu itu sangat bernilai, akan memunculkan dorongan yang kuat untuk melestarikan benda-benda peninggalan masa lalu.
Tegas. Tegas menurut saya adalah mempertahankan suatu nilai. Yang harus dipertahankan adalah nilai bendanya. Caranya adalah dengan merekonstruksi dan mengkonservasi. Sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan pra-konservasi dan konservasi berasal dari basic ilmu yang berbeda-beda. Oleh karena itu tujuannya juga pasti berbeda-beda. Oleh karenanya pula, di antara sumber daya manusia, dibutuhkan orang yang memegang teguh prinsip pelestarian. Orang ini dapat diangkat sebagai manajer/ direktur dalam proyek konservasi arkeologi. Tugas awal dari seorang manajer/ direktur adalah menyamakan tujuan. Walaupun kedengarannya sederhana, namun ini adalah hal yang relatif sulit.
Karena menjunjung tinggi nilai benda-benda peninggalan masa lalu, di Jepang, orang-orang sudah berfikiran sangat jauh ke depan. Mereka membuat Hutan-hutan Cagar Budaya. Mereka membuat hutan yang dipersiapkan untuk bahan-bahan bangunan kuno. Jika orang-orang Indonesia juga menjunjung tinggi nilai benda-benda peninggalan masa lalu, maka hati kita akan tergerak sendiri untuk bertindak, bahkan yang lebih kreatif dari mereka.
Setahu saya—berdasarkan keterangan dari salah seorang pegawai BP3—, pelaksanaan pra-konservasi dan konservasi Bangunan Benteng Ujung Pandang itu tidak sesuai dengan konsep/ sistem kerja yang telah disepakati. Perangkat Sumber Daya Manusia-nya menggunakan ego masing-masing, atau dengan kata lain mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Bangunan kuno Akademi Manajemen Perpajakan (AMP) di jalan Lembeh, adalah salah satu fakta juga bahwa ‘belum’ adanya kesadaran akan nilai benda peninggalan masa lalu. Saya tidak menggunakan kata tidak, melainkan kata belum, adalah karena saya optimis bahwa suatu saat nanti kita akan menyadari nilai dari benda-benda peninggalan masa lalu. Suatu hari nanti, pegawai-pegawai di BP3 yang memahami prinsip pelestarian (dalam hal ini adalah arkeolog), akan pensiun. Oleh karena itu, haruslah ada regenerasi. Tugas untuk melahirkan generasi-generasi baru ini diamanahkan kepada instansi pendidikan dalam bidang arkeologi, khususnya pada para dosen pengasuh Mata Kuliah Konservasi Arkeologi. Ini merupakan tugas yang berat. Harapan saya adalah lahirnya generasi-generasi penerus yang dipersiapkan untuk menggantikan para pegawai tersebut. Harapan saya ini bukanlah tidak mungkin terwujudkan. Ada pepatah Arab yang berbunyi: “Man Jadda wa Jada”. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka berhasillah ia.
Harapan saya selanjutnya adalah kita dapat lebih kreatif daripada negara-negara lain dalam melestarikan Benda Cagar Budaya. Tapi sebelum itu, tentunya dibutuhkan kesadaran akan pentingnya nilai benda peninggalan masa lalu.
Harapan saya selanjutnya adalah kita dapat lebih kreatif daripada negara-negara lain dalam melestarikan Benda Cagar Budaya. Tapi sebelum itu, tentunya dibutuhkan kesadaran akan pentingnya nilai benda peninggalan masa lalu.
[1] Istilah merekonstruksi untuk makhluk hidup pada hakekatnya adalah menghidupkannya kembali. Akan tetapi dalam tulisan ini, istilah merekonstruksi untuk makhluk hidup adalah upaya mengembalikan attribut-attributnya seperti semula.