sumber gambar: sagubatas.blogspot.com
Akal Abu Nawas
Ide munculnya tulisan ini sebenarnya karena tugas yang diberi oleh dosen. Mata Kuliah yang dibawakannya adalah Arkeologi Bawah Air. Dosen memberi tugas dengan instruksi: cari situs yang membahas tentang Sejarah dan Ruang Lingkup Arkeologi Bawah Air, kemudian kirim tautannya ke Grup Kuliah Arkeologi Unhas lalu buat resumenya kemudian beri komentar.
Sebelumnya, telah ada materi yang diberikan oleh dosen. Materi tersebut adalah Modul yang berjudul "PERJALANAN PANJANG MENUJU ARKEOLOGI BAWAH AIR". Maka dari situlah muncul ide untuk memasukkan modul itu ke dalam blog-ku sendiri yang kemudian akan dikirim ke Grup Kuliah Arkeologi Unhas. Hal tersebutlah yang membuat gambar awal dari tulisan ini adalah Abu Nawas dan saat ide tulisan ini muncul saya teringat dengan Abu Nawas dan saya merasa ideku dalam mengerjakan tugas ini rada-rada Abu Nawas.
PERJALANAN PANJANG MENUJU ARKEOLOGI BAWAH AIR
PENGANTAR
Keberadaan airlah yang menyebabkan munculnya arkeologi bawah air, dominasi air yang begitu besar menjadikan hampir 70 % permukaan bumi adalah air. Sebagian besar air menjadi lautan yang menjadi pemisah antar daratan. Untuk menaklukan lautan manusia dengan akalnya menghasilkan budaya maritim yang merupakan refleksi kehidupan dalam mengarungi lautan. Hasil budaya maritim tersebut, salah satunya adalah perahu dan kapal yang berfungsi sebagai sarana transportasi untuk menjelajahi lautan sehingga memungkinkan manusia berpindah dari satu daratan ke daratan lainnya di muka bumi ini. Dengan kapal pula manusia, mengadakan perjalanan jauh membawa komoditi perdagangan untuk mereka jual di daratan lain atau pulau lain.
Bahkan dengan itu pula manusia memberangkatkan armada perangnya untuk menyerang suatu wilayah lain, seperti yang dilakukan oleh Amangemon Raja Sparta yang mengirimkan ribuan kapalnya untuk menyerang Troy guna merebut kembali permaisurinya yang diculik oleh Panggeran Paris dari Troy. Dalam khasanah lokal terdapat sebuah kisah yang termaktub di epos Lagaligo, diceritakan Sawerigading membuat kapal yang besar untuk mengarungi dunia dan mencari jodohnya, sehingga dari mitos tersebut di Sulawesi Selatan dikenallah kapal Saweri Gading. Konon, ketika kapal Sawerigading dalam pelayaran pulangnya ke kampung halamannya di Tana Luwu pecah terhempas ombak, sisa-sisa pecahan kapal tersebut kemudian terdampar di desa Ara dan Tana Beru sedangkan tali temali terdampar di Bira. Orang-orang Ara dan Tana Beru lantas mempelajari serpihan papan dan lunas perahu tersebut sehingga menjadi orang-orang yang mahir membuat perahu, sedangkan tali temali dan kemudi yang tedampar di Bira menjadikan orang-orang Bira sebagai pelaut-pelaut ulung. Terlepas dari benar tidaknya mitos tersebut, Tana Beru yang terletak di Kabupaten Bulukumba memang terkenal sebagai salah satu tempat pembuatan perahu tradisional Pinisi yang sudah dikenal sampai ke mancanegara.
Aktifitas manusia dengan kapal dan perahunya dalam berlayar untuk mengarungi lautan bukan berarti tidak mendapatkan kendala. Tidak semua pelayaran yang mereka lakukan berhasil sampai ke tujuannya. Sehingga hal yang lumrah ketika terjadi musibah kapal tenggelam saat mereka berlayar di lautan atau kapal yang karam karena dihantam serangan dari musuh saat mereka bertempur di lautan. Sejak pertama kali manusia mengenal kapal maka sejak itu pula musibah kapal tenggelam terjadi dan akhirnya kemudian karam di dasar laut. Hal itu menjadi daya tarik bagi sebagian orang untuk mengetahui lebih jauh tentang kapal karam tersebut. Hal yang paling menarik buat mereka adalah, ‘harta karun” yang terdapat di kapal karam tersebut. Karena kapal-kapal yang karam biasanya juga merupakan kapal yang mengangkut komoditi perdagangan yang ada pada masa itu, seperti logam mulia, keramik, porselin maupun beragam bentuk senjata yang terdapat dalam kapal yang nilainya sangat mahal. Awalnya kegiatan arkeologi bawah air belumlah dikenal, yang ada hanya perburuan-perburuan harta karun dari kapal karam. Selama ribuan tahun, para pemburu harta karun itu hanya dilengkapi dengan alat-alat seperti jaring, penangkap atau grab dan kait yang mereka pergunakan untuk mendapatkan harta karun dan itu pun hanya dapat dilakukan di perairan yang dangkal dan jernih karena teknologi pakaian selam belum ada pada saat itu.
Pada banyak lokasi yang mudah dijangkau, perburuan harta karun ini terus berlanjut secara perlahan hingga berabad-abad lamanya, dalam beberapa hal ditandai pula dengan meningkatnya rasa penasaran dan ingin tahu mereka dan terkadang para pemburu harta karun menggabungkannya juga dengan penyelidikan arkeologi yang sebenarnya (Muckelroy, 1978 : 45). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan perburuan harta karun dilaksanakan secara lebih efisien dengan adanya pengembangan peralatan yang memungkinkan manusia untuk turun langsung ke dasar laut yang dimulai oleh Bells pada abad 17 sampai munculnya peralatan selam standar di abad ke -19, tepatnya tahun 1890 diciptakan peralatan selam sederhana berikut tabung udara yang dibuat oleh Alexander Lambert, seorang warga negara Inggris. Ujicoba peralatan tersebut dilakukan sendiri oleh Alexander Lambert ini. Keamanan pemakaian alat selam ini belum teruji karena pada waktu itu belum dikaji mengenai pengaruh tekanan terhadap penyelam.
Penyempurnaan terhadap alat selam yang diciptakan oleh Alexander Lambert terus-menerus dilakukan oleh berbagai pihak, hingga pada tahun 1912 Amerika Serikat berhasil menciptakan peralatan selam modern dengan mempergunakan tabung udara. Dan pada tahun 1943 Jacques-Yves Cousteau dan Emile Gagnan berhasil menciptakan peralatan selam modern yang mempergunakan tangki scuba sehingga penyelaman dapat dilakukan untuk jarak yang lebih dalam dengan waktu yang lebih lama serta keamanan yang lebih terjamin. Pada abad itu juga arkeologi yang semula hadir dari spekulasi pemburu harta karun yang tak terkendali menjadi ilmu yang sistematis, sehingga pencarian kapal karam pun menjadi objek kajian para arkeolog. Dari situlah cikal bakal munculnya arkeologi bawah air menjadi salah satu bagian dari disiplin ilmu arkeologi yang memfokuskan pada tinggalan arkeologi yang terdapat di bawah air.
Jika kita merujuk jauh ke masa lampau, aktifitas bawah air yang tercatat dalam sejarah pertama muncul pada abad ke-11 Masehi ketika Abbat Ealdred dan St. Albans mengirimkan orang-orangnya ke reruntuhan Verulamium untuk mengumpulkan batu-batuan untuk membangun Biara barunya. Selama memgumpulkan batu-batuan terebut, mereka menemukan kayu dengan paku yang merupakan bagian dari tiang puncak sebuah kapal. Pada abad berikutnya tepatnya tahun 1446 Leon Battuta Alberti melakukan usaha penyelaman untuk tindakan penyelamatan terhadap kapal-kapal Romawi yang telah karam di danau Nemi Italia. Sedangkan pada tahun 1535 Francisco Demarchi melakukan penelitian kapal Caligula dari kerajaan Romawi di Italia teknik penyelaman yang masih sederhana. Mereka melakukan aktifitas bawah airnya masih dengan segala macam keterbatasan yang ada dan dengan metode yang belum dapat dikatakan ilmiah, hanya sebatas untuk memenuhi rasa ingin tahunya mereka akan harta karun yang terdapat di kapal karam. Hal tersebut mengakibatkan rekaman data sejarah yang terdeposit pada situs kapal karam tidak terungkap bahkan sebagian besar diantaranya rusak karena ulah para pemburu harta karun tersebut. Kemunculan arkeologi sebagai suatu ilmu, turut berperan dalam memberikan nilai yang positif akan tinggalan kapal karam, dengan pendekatan arkeologi aktifitas pencarian harta karun bawah air menjadi dikenal dengan sebutan arkeologi bawah air atau Underwater Archaeology.
JEJAK ARKEOLOGI BAWAH AIR
Studi arkeologi bawah air yang paling awal dilakukan, diawali dari adanya temuan di darat berupa kapal yang berasal dari masa pertengahan, ekskavasi sistematik kemudian dilakukan oleh Conrad Engelhart pada tahun 1863 dan menemukan perahu abad ke-4 SM dari Nydam atau Denmark. Meskipun demikian temuan kapal dan dan perahu di daratan oleh para arkeolog, belum mendorong mereka untuk langsung melakukan petualangan bawah air dengan mempergunakan peralatan selam standar. Bahkan pada tahun 1907, ketika para kolektor benda antik di London tertarik untuk menyelidiki situs yang terletak di sebelah Utara teluk Herne di Kent karena banyaknya temuan keramik Brazil disana, mereka mempekerjakan seorang “penyelam bersertifikat” Hugh Pollard untuk menyelam ke dalam dan melihat kondisi di bawah. Baru setahun kemudian seorang arkeolog amatir yang juga merupakan pendeta, Reverend Odo Blundel melakukan penyelaman arkeologi di danau Loch Ness di Skotlandia dengan tujuan mengungkap sejarah dan pembangunan Benteng August, dan dia segera berpendapat bahwa salah satu cara untuk lebih mengetahui bagaimana benteng tersebut dibangun di atas danau adalah dengan melakukan penyelaman ke dasar danau dan melihat penutup dasar pada bangunan benteng. Untuk itu dia kemudian meminta bantuan regu penyelaman dari Perusahaan Canal Caledonia dan kemudian melakukan penyelaman lagi di danau Loch Ness. Kegiatan penyelaman seperti ini terus berlanjut, praktisnya Arkeologi bawah air sebelum perang dunia II masih sangat jarang dilakukan, kegiatan penyelaman banyak dilakukan oleh para penyelam amatir yang memiliki latar belakang arkeologi yang minim dan cenderung bersifat pemburu harta karun, yang hanya mementingkan nilai ekonomisnya saja.
Setelah perang dunia II berakhir arkeologi bawah air mulai berkembang dengan di lakukannya beberapa penelitian arkeologi bawah air di berbagai lokasi, seperti di Laut Mediterania dan Herculaneum pada tahun 1958, Mexico Underwater Archaeologi Society mendirikan CEDAM, sebuah organisasi yang mengkoordinir kegiatan Arkeologi Bawah Air dan melindungi situs-situsnya. Pada tahun 1974 bermunculan institusi yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan arkeologi bawah air, seperti: Universitas Calefornia, Sandiago,Universitas Haifa di Israel dan Universitas Australia Barat di Fremantle.
Baru pada tahun 1978 peninggalan arkeologi bawah air di Indonesia mulai diperhatikan, namun hanya beberapa arkeolog saja yang mengusasi penyelaman bawah air plus menggelar penelitian, di banding kondisi di negara tetangga, Thailand, Malaysia dan Philipina jauh lebih baik. Pada 1979, satu tenaga peneliti Indonesia, yakni Nurhadi, berkesempatan mengikuti latihan ABA yang dikaitkan dengan Arkeologi Maritim (AM) di Thailand. Arkeologi bawah air di Indonesia kemudian mulai dipelajari lebih intensif mulai pada tahun 1980 seiring dengan dikirimnya beberapa arkeolog Indonesia yang tergabung dalam SEAMEO Project in Archaeology and Fine Art (SPAFA) ke Thailand sebanyak 22 orang yang terdiri dari : 8 orang Penyelam, 13 Konservator, dan seorang fotografer. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pun mulai menguji coba kegiatan arkeologi bawah air pada 1981, bekerja sama dengan pasukan katak dari Armada RI Wilayah Timur.
Selain mempelajari dan menangani segala tinggalan di bawah air juga mengkaji arkeologi maritim yaitu segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, namun datanya terdapat di daratan. Dengan demikian, situs di daerah pantai atau sungai dan kapal yang tertimbun tanah di daratan menjadi cakupan arkeologi maritim. Di Indonesia arkeologi maritim yang mula-mula dikenal lewat penelitian perahu kuno dan arkeologi bawah air. Salah seorang pelopornya adalah Pierre-Yves Manguin, seorang pakar sejarah maritim dari Prancis. Manguin meneliti perahu kuno di Indonesia sejak 1977 (Susantio, 2006).
Sedangkan secara institusional dibentuk pula Seksi Pengendalian Peninggalan Bawah air yang bertugas mengurusi peninggalan sumberdaya budaya bawah air dalam lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Perkembangan penanganan sumberdaya budaya di perairan Indonesia sudah mulai bangkit dari tidur panjangnya, hal ini disadari sumberdaya budaya di bawah perairan nusantara amat banyak dan kemungkinan pengambilan sumberdaya budaya itu secara illegal masih amat memungkin, bahkan oleh orang asing. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya perhatian pemerintah untuk mendirikan institusi yang menangani khusus sumberdaya budaya bawah air, dan melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan /pencetakan sumberdaya manusia di bidang arkeologi bawah air, yang selama ini jumlahnya sangat minim dan tidak aktif.
Tahun 2003 – 2005 berturut-turut telah dilakukan pelatihan penyelaman dalam lingkungan Asdep Urusan Pemuseuman dan Kepurbakalaan Deputi Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Bahkan dalam tahun 2005 ini Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar, telah melakukan pelatihan Underwater archaeology terhadap staff BPPP – Makassar yang berminat dan anggota Makassar Underwater Archaeology Heritage – Jurusan Akeologi Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Hasanuddin. Demikian pula kegiatan pengangkatan terhadap situs-situs bawah air sudah banyak dilakukan di perairan nusantara, seperti misalnya pra-tahun 2000 di Pulau Buaya Wreck, Taksing Cargo, Intan Cargo, Tang Cargo, Nlanakan Wreck dan Pasca 2000 pengangkatan di Selat Karimata, Perairan Utara Cerebon, Karang Haleputan Riau, Batang Selatan Riau, Karang Tombak, Bintang Utara Riau. Sedangkan kegiatan survey arkeologi bawah air (sifatnya Survey Pendahuluan ) juga sudah banyak dilakukan seperti misalnya pada Kantor BPPP-Makassar yang aktif setiap tahunnya memprogramkan kegiatan survey bawah air, dan telah melakukan beberapa kegiatan survey seperti misalnya di perairan selat Makassar, perairan Selayar, dan perairan Buton, dan berhasil menemukan beberapa titik pada perairan tersebut.
Berdasarkan sumber Litban Oceanologi (2006) tercatat sekitar kurang lebih 463 titik situs bawah air, Arsip Organisasi Arkeologi di Belanda sekitar 245 kapal VOC, sedangkan Tony Wells, Shipwrecks & Sunken Tresure sekitar 186 kapal VOC. Adapun sebaran titik tersebut terdapat di perairan Selat Malaka, Sumatra Selatan yang tersebar di selat Bangka, Perairan Riau, Selat Gaspar, Perairan Blitung, Perairan Enggano, Kepulauan Seribu- Selat Sunda, Pelabuhan Ratu, Perairan Cilacap- Jawa Tengah, Laut Jawa, Perairan Karimun Jawa-Pantai Jepara, Selat Madura-Pulau Kangean, Selat Karimata, Nusa Tenggara Barat-Timur, Perairan Arafura, Perairan Irian Jaya, Perairan Morotai-Teluk Kao, Perairan Almahera Tidore- Bacan, Perairan Ambon – Buru, Perairan Teluk Tomini dan Perairan Selat Makassar.
Penelitian arkeologi bawah air di perairan Selat Makassar, dimulai sejak tahun 1998 oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan dan Tenggara (sekarang berubah nama menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Pubakala Makassar), kelompok kerja ini merupakan kelompok kerja yang paling mudah diantara kelima kelompok kerja yang ada di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Terbentuk pada tahun 1998, kemudian kelompok kerja ini bergabung dengan kelompok kerja perlindungan pada tahun 2001. Pada tahun 2006 kelompok kerja bawah air kemudian berdiri sendiri sampai sekarang, kelompok kerja ini bertujuan melakukan kegiatan penelitian dan pelestarian seperti, melakukan survei pada lokasi yang diduga terdapat tinggalan arkeologi bawah air. Dari penelitian yang telah dilakukan mulai dari tahun 1998 sampai tahun 2006, berhasil menemukan beberapa situs arkeologi bawah air antara lain: Situs Panpandangan, Karang Labor, Gosong Tuara dan Karang Samme, Padewakkang, Nirwana dan Kalukkuang (Ramli, 1998 : 3). Selanjutnya survei bawah air oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar (BP3) pada tahun 2007, berhasil menemukan kapal karam di perairan pulau Tomia yang diperkirakan sebagai kapal peninggalan perang dunia kedua (Kaligis, 2007: t. hal).
Jurusan arkeologi Universitas Hasanuddin sebagai salah satu disiplin ilmu juga membentuk suatu wadah yang bergerak dalam bidang tinggalan bawah air, wadah ini diberi nama Makassar Underwater Arcahaeology Heritage (MUAH) yang selalu melakukan kerja sama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar (BP3) dalam melakukan kegiatan penelitian dan pelestarian. Makassar Underwater Arcahaeology Heritage (MUAH) ini terbentuk pada tanggal 21 Mei 2005. Selain Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar (BP3) dan Makassar Underwater Arcahaeology Heritage (MUAH), penelitian arkeologi bawah air diselat Makassar juga telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin guna menyelesaikan studinya, antara lain : Adriany pada tahun 2001 dalam skripsinya yang berjudul “Keramik Asing di Situs Bawah Air Taka Bulango Kabupaten Pangkep Sebagai Sumber Data Arkeologi”. Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu : pertama, perairan Selat Makassar, pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan pesisir di kawasan Barat Sulawesi seperti Kerajaan Siang, Kerajaan Suppa merupakan wilayah lalu lintas yang ramai dilewati kapal dan perahu dengan tujuan kongsi dagang, tujuan politik, dan tujuan-tujuan khusus lainya seperti pertukaran cindera mata. Kedua, berdasarkan fragmen temuan keramik yang bervariasi baik jenis maupun negara asal, dapat dikatakan bahwa perdagangan keramik di kawasan Nusantara telah terjalin dalam waktu yang cukup lama (Adriany, 2001: 49-50).
Penelitian yang dilakukan oleh Kasmawati pada tahun 2002 dalam skripsinya yang berjudul “Bangkai Perahu Pada Situs-Situs Bawah Air di Perairan Selat Makassar”. Penelitian ini dilakukan di situs Sambungan Bulango, Papandangan, Karang Semme, Gusung Tuara, Karang Labor. Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan, bahwa bangkai perahu pada situs Sambungan Bulango dan Papandangan masih memiliki keterkaitan atau hubungan dengan industri pembuatan perahu di Bulukumba baik dari aspek bahan maupun teknologi, sedangkan situs Karang Samme dan Gusung Tuara bukan merupakan tradisi lanjutan dari teknologi pembuatan perahu Bulukumba, tetapi teknologi perahu Jung Cina (Kasmawati, 2002 : 118). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Zainab Tahir, 2003, yang dituangkan dalam skripsinya dengan berjudul “Konservsasi Keramik Asing Dari Situs-Situs Bawah Air Selat Makassar, berkesimpulan bahwa yang diperoleh dari kegiatan ini yaitu penggunaan HCL lebih efektif karena dapat mengangkat organisme secara keseluruhan, sedangkan penggunaan H2SO4, tidak secara langsung dapat melepaskan organisme yang ada (Tahir, 2003 : 94). Pada tahun 2007, Andi Jusdi melakukan penelitian tentang arkeologi bawah air pula sebagai tugas akhir atau skripsi, dengan tema penelitian persebaran situs arkeologi bawah air di selat Makassar. Sedangkan Abdullah melakukan penelitian untuk skripsinya dengan mengambil tema model tinggalan arkeologi bawah air di Taka Bulango Pangkep Sulawesi Selatan.
RUANG LINGKUP KAJIAN ARKEOLOGI BAWAH AIR
Dalam uraian tersebut, terlihat bahwa sejak pertama kali dilakukan penelitian arkeologi bawah air, ruang lingkup arkeologi bawah air di Indonesia masih lebih difokuskan pada kapal karam di dasar laut, bahkan secara rinci disebutkan oleh Direktur Riset dan Sumber Daya Alam titik-titik dari keberadaan kapal karam di perairan Indonesia yang sampai detik ini belum semuanya tuntas diekploirasi. Hanya saja yang perlu kita ingat bahwasannya ruang lingkup objek kajian arkeologi bawah air bukan hanya kapal karam beserta muatannya saja tetapi juga sisa aktifitas manusia lainnya yang berada di bawah permukaan air, sehingga bisa saja objek tersebut tidak menggambarkan aktifitas ke maritiman, salah satu contohnya adalah reruntuhan bangunan kuno di dasar laut merah yang disinyalir sebagai bekas istananya Cleopatra. Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan arkeologi bawah air pada dasarnya sama dengan tujuan arkeologi secara umum, yang membedakannya adalah objek arkeologi bawah air berada di bawah permukaan air, sehingga secara teknis metode ataupun penanganannya tentu harus disesuikan dengan kondisi yang ada.
Untuk mencapai tujuan tersebut, arkeologi bawah air dewasa ini mengembangkan dua cara pendekatan. Yaitu, pertama pendekatan berdasarkan kerangka kesejarahan ( historical particularism), yang menekankan perhatian pada artefak dan fungsinya sebagai langkah utama, dan penting bagi penyusunan hipotesa yang luas. Kedua adalah pendekatan berdasarkan kerangka pemikiran antropologis ( anthropological approach ), yang cenderung berangkat dari kerangka pemikiran hipotesis dan menggunakan asemblage artefak yang telah diklasifikasi dan dimengerti materialnya sebagai dasar kajian untuk menjelaskan berbagai aspek kehidupan masyarakat masa lalu (Green 1990). Studi atas situs-situs kapal akan memperlengkap penelitian arkeologi daratan dan pemahaman atas kebudayaan manusia masa lalu. Upaya mendapatkan data kehidupan masa lalu yang sebagian besar tertutup sedimentasi yang terjadi sesudahnya sehingga memerlukan cara khusus. Survey mengawali aktifitas tersebut. Kegiatannnya berupa pengamatan terhadap tinggalan arkeologis disertai dengan analisis. Kerja ini dapat dilakukan dengan mencari keterangan penduduk atau melacak berita dalam naskah kuna, literatur atau laporan penemuan. Selanjutnya adalah ekskavasi yang dalam arkeologi adalah upaya mengupas lapisan sedimentasi untuk menampakkan sisa-sisa benda budaya yang diselimutinya. Kelak bukti aktifitas masa lalu itu menjadi sarana pengungkapan aspek-aspek yang dikandungnya. Mengenai hal ini tidak ada perbedaan antara arkeologi darat dan arkeologi bawah air, sehingga arkeologi bawah air pun memberlakukan metode klasifikasi dan analisis sistematis terhadap artefaknya.
Ketika objek kajian arkeologi bawah air berupa kapal karam, tentu saja kita akan berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang aktifitas kemaritiman yang terjadi, tapi ketika yang kita temukan adalah sisa reruntuhan istana atau bekas pemukiman maka yang akan kita dapatkan mungkin saja tidak ada kaitannya dengan aktifitas maritim secara langsung. Jadi pada hakekatnya inti dari ruang lingkup kajian arkeologi bawah air bukan hanya aktifitas kemaritiman semata, tetapi keseluruhan aktifitas manusia yang terdepositkan dalam benda sisa aktifitas manusia yang ‘kebetulan’ berada di bawah air. Karena keberadaanya yang tidak di daratan, kajian arkeologi bawah air pun meliputi hal-hal yang berkaitan dengan dunia penyelaman untuk memudahkan kita dalam melaksanakan penelitian arkeologi bawah air.
Demikianlah, kajian arkeologi bawah air terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi. Temuan-temuan arkeologi bawah air pun tidak terbatas di laut saja tetapi ditemukan pula di danau maupun di sungai. Sedangkan dari segi objek temuan, tidak hanya berupa kapal atau perahu saja tetapi banyak situs arkeologi bawah air yang temuannya berupa pemukiman yang tenggelam bahkan bekas istana. Sehingga arkeologi bawah air sebagai suatu studi ilmiah dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lampau berdasarkan tinggalan material budayanya yang masih berada di bawah air. Dimana ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada tinggalan dari aktifitas yang berhubungan dengan pelayaran, perkapalan, perdagangan dan peperangan laut semata. Tetapi juga mencangkup tinggalan-tinggalan lain yang masih berada di bawah air, seperti bekas pemukiman kota Pompeii, Port Royal di Jamaika yang merupakan bekas perkotaan yang tenggelam, reruntuhan bangunan yang diduga bekas istana Cleopatra di laut Merah, sebuah bangunan lama berusia kira-kira 7.500 tahun di dasar Laut Hitam, dekat pantai Turki yang diduga merupakan bukti dari kejadian banjir besar di jaman Nabi Nuh dan situs-situs lainnya.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa bidang kajian penelitian arkeologi bawah air dewasa ini sudah meliputi Perahu/Kapal karam dan komponennya, serta komoditas /benda yang diangkut stuktur dan mekanisme masyarakat masa lalu (Green,1990). Dengan demikian Arkeologi Bawah air secara umum tidak berbeda dengan penelitian arkeologi darat. Secara khusus, arkeologi bawah air ditujukan bagi aktivitas penelitian arkeologi terhadap data arkeologis yang berasal dari bawah permukaan air, meliputi; Laut, sungai, danau, maupun bentuk perairan lainnya. Penemuan bukti kehidupan masa lampau di dasar perairan berkenaan dengan akktivitas manusia, seperti pelayaran dan perdagangan laut yang menghasilkan situs-situs bangkai perahu/kapal. Juga aktivitas alam seperti penurunan elevasi laut yang besar pengaruhnya terhadap daerah pantai atau peristiwa katastrofi lain berupa gempa vulkanik/tektonik yang kelak memunculkan, antara lain situs-situs pelabuhan dan pemukiman yang sekarang berada di bawah air. Hal ini berarti, kajian diluar itu tidaklah termasuk ruang lingkup arkeologi bawah air