sumber gambar: http://pixabay.com
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah buku berjudul Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya—editor: Dr. Parsudi Suparlan. Setelah membaca bagian-bagian awal buku itu, saya bertanya-tanya. So what ? Jadi kenapami ? Pada bagian-bagian awal tulisan itu dibahas keutamaan manusia. Pada bagian itu dibahas perbedaan manusia dengan hewan. Manusia itu secara biologis masuk dalam kategori hewan. Keutamaan manusia dibahas panjang lebar, hingga akhirnya saya bosan dan sudah tidak sabar untuk mendapatkan apa yang saya cari. Saya lalu menggunakan teknik membaca cepat, namun walaupun begitu, saya tetap tidak mendapatkan suatu kesimpulan, suatu tujuan tulisan. Di saat yang bersamaan, saya teringat sebuah kalimat di kata pengantar buku itu bahwa buku ini merupakan kumpulan dari berbagai karangan. Fikiranku teralihkan di kata karangan itu. Karangan menurut saya adalah sebuah tulisan yang dibuat tanpa tujuan, atau mungkin tulisan yang dibuat hanya karena mau menulis saja. Itulah yang membuat ide tulisan ini muncul. Tulisan ini dibuat, hanya karena mau menulis saja.
Sehabis sholat Magrib saya punya ide untuk makan pangsit di dekat rumah. Tempat makan itu banyak pelanggannya, sehingga untuk menunggu pesanan, dibutuhkan kesabaran. Menunggu adalah suatu hal yang tidak menyenangkan bagi saya. Sehingga ketika hal itu terjadi saya harus melakukan suatu hal yang lain. Sambil menunggu pesanan saya mengambil yang bisa saya makan dulu di depan meja, dan kebetulan yang ada di depan meja itu lontong dan lombok, ha ha ha..
Pesanan pun datang, saya lalu dengan lahap makan pangsit. Sambil makan, saya melirik sepasang suami-istri dan seorang anaknya. Suami itu memberi istrinya uang, dialog pun terjadi:
Suami: ine! (ini !)
Istri: singkammaji ?! (sebegini ji ?!)
Suami: [silence and keep smile]
Istri: punna singkammaji nusareanga’ namakkalliko manggeku. (kalau sebegini ji yang kau kasi ke saya diketawaiko bapakku)
Suami: [silence, keep smile] dan bakar rokok.
Itulah fenomena sosial. Ada pelajaran yang bisa dipetik dari situ.
Saya mau bahas lagi kepemerintahan pemerintah kota Makassar dalam paragraf ini atau mungkin akan meluas menjadi dua paragraf. Cekidot. Itu pemkot ka bikin emosi juga. Masa’ itu kontener sampah di dekat rumah, besar sekali. Besar dan tinggi. Naanggapki’ barangkali orang barat (yang tinggi-tinggi), itu. Biasa kalau buang sampah ka tidak kubuang di dalam kontener tapi kutaro’ di tanah saja. Memang ia ada untungnya karena dengan kontener sampah yang lebih besar jangka waktu untuk mengangkut kontener itu lebih panjang, sehingga uang solar untuk mobil pengangkut bisa lebih hemat. Tapi, kita cika’, nusessaki’. Itu tukang sampah juga nusessai. Pasalnya, bukan cuma saya yang begitu. Orang lain pun seperti saya. Sehingga tukang sampah itu harus mengangkut sampah-sampah dari tanah ke kontener sampah. Pasti mengeluhki itu tukang sampa ya juga. Saya jadi teringat kata-kata dosen saya: “kalau dalam suatu organisasi, bagian terkecil dari organisasi itu sudah mengeluh, maka organisasi itu ada yang tidak beres”.
Masa ini adalah masa-masa skripsi, bagi saya. Saya mau ‘cepat’ sarjana karena beberapa alasan. Alasan pertama, tinggal dua mami mata kuliah wajibku, jadi untuk apa lagi tinggal-tinggal. Alasan ke dua tuntutan dari PA. Alasan ke tiga tuntutan finansial. Tapi kata cepat mungkin tidak tepat. Karena katanya PA-ku itu periode waktu dibuat maksudnya sebagai tolak ukur kemampuan mahasiswa. Waktu yang selebihnya itu adalah toleransi. Jadi kata cepat jika sarjana pada semester 9 (4 ½ tahun) itu tidak tepat karena memang sudah seharusnyami. Akan tetapi di masa ini fikiran saya teralihkan ke suatu hal yang baru, padahal proposal penelitian sudah harus segerami dikumpul. Oleh karena itu, ini mi besok mauka ke rumahnya temanku kerja BAB I ku. Ha ha ha...
Saya mau tulis tentang Bunker. Manifestasi dari strategi bertahan bangsa Jepang menjelang kekalahannya. Menurut saya ada tiga model berperang. Pertama model menyerang, ke dua model bertahan, dan ke tiga model counter-attack. Pada awal-awal perang pasifik, bangsa Jepang menggunakan model berperang menyerang. Dia contoh model berperangnya orang Jerman, di Benua Eropa sana, tapi kajili-jili, terburu-buruki. Masa’ pelabuhannya Amerika Serikat diserang tanpa deklarasi perang terlebih dahulu. Itu kan tidak etis. Tahun 1943, Amerika Serikat menyerang balik bangsa Jepang, yang mengakibatkan bangsa Jepang mengalami kekalahan demi kekalahan serta kerugian perang. Baru narasa bangsa Jepang di sini. Masi’ mauko nakal. Kekalahan-kekalahan yang dialami bangsa Jepang itu membuatnya merubah strategi dari strategi menyerang ke strategi bertahan. Sehingga pada saat itu dia melancarkan serangan terakhirnya, yaitu serangan Kamikaze (Dewa Angin). Kerennya namanya saya dengar. Deh, tapi ngeri itu Kamikaze. Cobami bayangkan kita tentara angkatan laut Amerika Serikat yang sedang berada di sebuah kapal perang. Ada pesawat tentara Jepang yang dilihat sebagai sasaran empuk. Maumi ditembak itu pesawat, tapi tiba-tiba itu pesawat mengarah ke kita dengan kecepatan tinggi, yang membuat dahi berkerut (apa mau nabikin ini orang ?!). Mungkin setelah itu uang yang banyak dikasi ke keluarga tentara Kamikaze itu. Bukan hanya orang Jepang tentara Kamikazenya melainkan orang Indonesia juga. Orang Indonesia juga dilatih mengoperasikan pesawat hanya untuk menjadi tentara Kamikaze. Sungguh terlalu.
Bunker ada banyak di Indonesia. Salah satunya di pulau Sulawesi bagian selatan. Di Pulau Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Maros, Kota Makassar, dan Kabupaten Enrekang, yang sudahmi ditulis sama senior-seniorku. Tapi ada lagi bunker di Malino, Kabupaten Gowa. Di sana itu banyak bunkernya. Itu mi yang jadi fokus penelitian untuk tugas akhirku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar