Klik "ide judul blog" untuk membaca tulisan ide dari judul blog...

Rabu, 21 Maret 2012

Arkeologi Sebagai Suatu Ilmu

Sumber foto: www.goodreads.com

         Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, kita selalu dihadapkan oleh berbagai masalah. Misalnya: bangun dari tidur ingin menyikat gigi, tetapi odol habis; ingin mandi pagi, tetapi sabun habis; ingin memakai baju, tetapi baju belum dicuci; ingin berangkat ke kampus atau ke tempat kerja dengan motor, tetapi bensin tidak cukup. Namun, itu semua dapat diatasi dengan adanya fikiran. Manusia berfikir saat menghadapi masalah. Baik itu dari masalah yang sangat rumit, hingga masalah yang tidak disadari (masalah sepele).
Dalam melakukan kegiatan berfikir, manusia menggunakan cara yang berbeda-beda. Zaman dulu, dalam menjawab masalah (persoalan hidup) seperti: Apa yang menyebabkan gempa bumi? Apa yang menyebabkan tornado? Apa yang menyebabkan kilat dan guntur?, orang-orang berfikir secara mitologi. Untuk menjawab persoalan tersebut, orang-orang berfikir secara tidak rasional. Sehingga muncullah konsep dewa.
Zaman setelahnya, pemikiran manusia berkembang. Dalam menjawab persoalan hidup, manusia berfikir secara rasional, yang kemudian dikenal dengan istilah rasionalisme, yaitu berfikir dengan hanya mengandalkan rasio. Dalam perkembangan pemikiran tersebut, di sisi lain, timbullah pemikiran empirisme, yaitu cara berfikir yang hanya mengandalkan panca indera. Kedua cara berfikir ini adalah pro dan kontra. Kedua pemikiran yang pro kontra tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin mendapatkan pengetahuan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup. Masing-masing penganut kedua cara berfikir itu saling mempertahankan cara berfikirnya. Namun, dalam permasalahan tersebut, muncullah jalan tengahnya; cara berfikir keilmuan, yaitu gabungan antara pemikiran rasionalisme dengan pemikiran empirisme, yang berangkat dari pernyataan bahwa kedua cara berfikir tersebut mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Hasil dari proses berfikir adalah pengetahuan. Nilai dari pengetahuan yang diperoleh tergantung dari cara memperolehnya. Sehingga pengetahuan terbagi-bagi. Salah satunya adalah pengetahuan ilmu, yang kemudian dinamakan ilmu pengetahuan.
Setelah melalui proses yang panjang, muncullah berbagai ilmu, seperti: Ilmu matematika, Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, Ilmu Astronomi, Ilmu Geologi, Ilmu Biologi, dan Ilmu Sosial. Ilmu-ilmu tersebut adalah klasifikasi dari apa yang ingin diketahui. Misalkan: Ilmu Sosial, ingin mengetahui perilaku manusia; Ilmu Geologi, ingin mengetahui bumi; Ilmu Biologi, ingin mengetahui fisik makhluk hidup; Ilmu Kimia, ingin mengetahui hakekat benda; Ilmu Astronomi, ingin mengetahui luar angkasa. Hasil dari cara berfikir keilmuan akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Cara berfikir keilmuan inilah yang kemudian digunakan hingga saat ini.
Ilmu tidak bersifat tertutup. Ilmu adalah untuk semua orang. Semua orang dapat mempelajari cara berfikir keilmuan untuk menjawab persoalan-persoalan hidupnya. Dalam proses menjawab persoalan hidup dengan cara berfikir keilmuan, ada empat langkah yang harus dilalui, yaitu: perumusan masalah, penyusunan hipotesis, deduksi dari hipotesis, kemudian pengujian.
Masalah atau persoalan hidup yang ingin dijawab diabstraksikan terlebih dahulu ke dalam bahasa. Misalkan: “mengapa si Baco’ yang gemuk, tidak cepat larinya?”. Jika diperhatikan, masalah tersebut mempunyai hubungan yang logis. Variabel X = si Baco’ yang gemuk, variabel Y = tidak cepat larinya. Di sinilah hipotesis disusun. Di sinilah cara berfikir rasioanalis diterapkan. Ilmu pengetahuan yang menyatakan bahwa semakin banyak beban berat (lemak) seseorang akan mengakibatkan gerakannya semakin lamban, akan sangat membantu dalam menjawab permasalahan tersebut. Hipotesis tersebut kemudian dideduksikan. Orang yang berbeban berat (gemuk) gerakannya lamban disebut premis mayor. Si Baco’ yang berbadan gemuk disebut premis minor. Dari kedua pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan logis: “Si Baco’ yang berbadan gemuk gerakannya lamban”. Implikasi dari gerakan yang lamban adalah lari yang tidak cepat. Namun, pernyataan tersebut hanya berupa hipotesis. Belum diuji. Oleh karena itu, masuklah ke tahap pengujian untuk membenarkan pernyataan tersebut. Maka diterapkanlah cara berfikir empiris. Fakta yang mendukung dari pernyataan “Si Baco’ yang berbadan gemuk gerakannya lamban” harus dicari. Misalkan: Jika memang benar si A gerakannya lamban, maka pada saat lomba lari dengan orang-orang yang badannya lebih ringan dari dia, si A akan berada di urutan terbelakang. Fakta tersebut akan membenarkan hipotesis. Sehingga diperolehlah ilmu pengetahuan.
Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam adalah dua ilmu yang telah berkembang sejak dulu. Di antara kedua ilmu ini, ilmu alamlah yang lebih maju. Ilmu alam sudah mempunyai bahasa matematika. Contohnya teori yang sudah sangat terkenal, yaitu teori relativitas Einstein, yang menggunakan bahasa matematika: E = MC2. Sebuah ilmu dapat dikatakan mengalami kemajuan, apabila dalam ilmu tersebut sudah mempunyai bahasa matematika.
Ilmu sosial tidak seperti ilmu alam yang sudah mempunyai bahasa matematika. Ilmu sosial masih dalam tahap perkembangan. Obyek yang ditelitinya tidak bersifat tetap, melainkan berubah-ubah. Sehingga bisa dikatakan tidak memungkinkan untuk menggunakan bahasa matematika. Akan tetapi, akan sangat menggembirakan jikalau suatu saat nanti, ilmu sosial sudah mempunyai bahasa matematika.
Kebudayaan adalah salah satu obyek yang dipelajari dalam ilmu sosial. Ilmu pengetahuan tentang kebudayaan mempunyai manfaat. Misalnya: jika kita memiliki ilmu pengetahuan tentang budaya orang-orang Jamaika, misalnya: sifatnya, norma-norma yang dianutnya, dan religinya, maka kita akan mudah bergaul dengan mereka. Dengan begitu, kita akan nyaman tinggal di daerahnya. Namun, kebudayaan itu berubah-ubah karena sifat manusia yang saling mempengaruhi. Tidak menutup kemungkinan saat ini kita belajar budaya bela diri Capoera di Jamaika, namun 10 tahun mendatang, mereka sudah meninggalkan budaya bela diri tersebut, diakibatkan karena teknologi yang sudah semakin maju, sehingga mengakibatkan orang-orang tersebut menjadi semakin memanjakan diri, dan terlena dengan teknologi.
Arkeologi adalah bagian dari ilmu sosial. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari masa lalu melalui benda materialnya. Mempelajari masa lalu itu sulit, karena kita tidak bisa menyaksikannya. Sulit rasanya untuk mempercayai ilmu pengetahuan masa lalu. Sulit, jikalau proses untuk mendapatkannya tidak dipaparkan. Jadi, yang menjadi tolak ukur kebenaran ilmu pengetahuan masa lalu adalah cara memperolehnya; bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan tersebut.
Sepengetahuan penulis, arkeologi belum memiliki bahasa matematika. Harapan penulis, arkeologi sudah mempunyai bahasa matematika—jikalau memang belum ada—yang akan membuat kemajuan dalam ilmu arkeologi. Bangun Bina Bakti Arkeologi Jaya !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar