sumber foto: dinnafitriananoris.wordpress.com
Tersebutlah Lukman Hakim, umur 25 tahun. Suatu ketika, pukul 19.00, Lukman pulang dari tempat kerjanya. Dalam perjalanan, yang terbayang di pikirannya adalah tempat tidur untuk beristirahat. Namun, sesampainya di halaman rumah, ia tiba-tiba dihadang oleh istrinya yang sedang berdiri tepat di depan pintu rumah.
Istri: “paak! Kenapa pulang telat!?”
Lukman: “Lembur. Banyak pekerjaan”
Lukman lalu melewati istrinya dan segera ke kamar tidur, melepas pakaian kerja dan tasnya. Namun istrinya mengikutinya dari belakang sambil menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan kecurigaan. Tidak tahan dengan sifat istrinya, ia lalu mengambil jaketnya kemudian berjalan ke luar—diikuti oleh istrinya—menuju motor Jupiter MX-nya.
Istri: “mau ke mana paak?”
Tanpa berbicara, Lukman menancap gas. Ia hendak menuju sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari rumahnya.
Pelayan: “pesan apa pak?” sambil menyalurkan menu
Lukman: “kopi susu!”
Pelayan: “tunggu sebentar yaa”
Beberapa menit kemudian, pesanan sudah datang. Dengan kopi susu yang telah tersedia di atas meja, di depan matanya, pikirannya tiba-tiba teralihkan. Pikirannya jadi teralihkan kepada hal-hal yang menyangkut kebudayaan. Itu mungkin karena baru-baru saja ia mengumpulkan data-data untuk menyusun sistem informasi kebudayaan Makassar, yang membuatnya telat pulang ke rumah. Budaya adalah hasil dari sistem ide manusia. Kebudayaan adalah hal-hal yang menyangkut tentang budaya. Lukman bertanya-tanya dalam hati: “untuk apa gelas ini dibuat?”. Bisa saja orang dengan mudah mengatakan, ya agar orang-orang dapat mempergunakannya sebagai wadah untuk tempat air atau singkatnya, untuk mensejahterahkan masyarakat. Namun Lukman tidak berpikiran seperti itu.
“bisa saja orang berpikir membuat, memproduksi gelas, bukan untuk mensejahterahkan masyarakat. Akan tetapi hanya untuk memperoleh keuntungan”.
Sembari memperhatikan wujud gelas tersebut lebih dalam, ia melihat sebuah tulisan: “Glass Production Matoo’ ”. Ia jadi tersadar. Ia teringat, bahwa pabrik Glass Production Mattoo—yang berada di jalan Perintis Kemerdekaan, jauh dari rumahnya—adalah pabrik yang pernah ia kunjungi dalam rangka bersilaturahim dengan teman lamanya, pemilik pabrik tersebut. Dalam kunjungan tersebut, terlintas pertanyaan dalam benaknya: untuk apa temanku mendirikan pabrik ini? Karena ia mengenal watak temannya ini, ia berasumsi bahwa pasti tujuan produksi barang-barang glass ini adalah hanya untuk memperoleh uang, bukan untuk mensejahterahkan masyarakat. Oleh karena itu, ia tidak menggunakan metode wawancara langsung. Lukman berbincang-bincang, menggiringnya ke masa lalu saat masa kuliah dulu, hingga sampai kepada pembicaraan: mengapa dia mendirikan pabrik tersebut. Akhirnya Lukman memperoleh jawaban atas pertanyaannya. Ternyata temannya itu mendirikan pabrik produksi glass hanya untuk memperoleh uang. Walaupun asumsi Lukman sangat kuat, namun ia tidak terburu-buru untuk menarik kesimpulan.
Pikiran Lukman kembali ke saat sekarang: “Saya ingat, glass ini diproduksi hanya untuk memperoleh keuntungan! Karena si pemilik pabrik ini adalah orang yang tergila-gila dengan uang”.
Setelah itu, ia melihat-lihat, memperhatikan, mengamat-amati gelas-gelas—orang-orang yang sedang menikmati minuman—di sekelilingnya, dan seluruh gelas-gelas yang terjangkau oleh penglihatannya. Tanpa sadar, ia mengklasifikasikan gelas-gelas tersebut. Gelas kecil untuk minuman jenis kopi, gelas sedang untuk minuman jenis teh, dan gelas besar untuk minuman jenis jus. Akhirnya, Lukman mendefenisikan bahwa gelas adalah wadah untuk kopi, teh, dan jus yang selanjutnya ia kategorikan ke dalam kategori minuman. Beberapa millidetik kemudian, ia jadi teringat wadah tempat air dari keramik yang ada di rumahnya. Sehingga, terlintas pertanyaan di benaknya:
“Mengapa orang kepikiran untuk membuat wadah air?”
Lukman: “Untuk menjawab ini, saya harus ke konteks waktu dan pengaruh lingkungan terhadap manusia”.
Pengaruh lingkungan terhadap manusia adalah gambaran lingkungan yang mempengaruhi manusia sehingga menghasilkan sebuah sistem ide wadah air. Konteks waktu adalah masa saat sebelum wadah air diciptakan.
Saat itu juga, Lukman jadi teringat pelajaran-pelajaran yang didapatkannya saat di bangku kuliah dulu. Dengan itu, ia lalu mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Namun setelah mendapatkan jawabannya, pertanyaan berkembang lagi dalam benaknya. “Mengapa ide wadah air adalah dari glass dan dari keramik?”, “mengapa bukan ide wadah air dari bahan lain, seperti: besi, batu, dan lain-lain?” Ia kembali ke cara penyelesaian sebelumnya, yaitu konteks waktu, dan pengaruh lingkungan. Sesaat kemudian, tanpa sengaja ia melihat sebuah judul tulisan (“Sejarah Wadah Tempat Air”) di sebuah majalah yang jaraknya relatif jauh, yang terletak di rak, di salah satu sisi kafe. Ia lalu bersegera menuju rak tersebut, mengambil majalah tersebut, lalu kembali ke tempat duduknya. Sambil menikmati kopi susunya, ia membaca majalah tersebut. Dengan membaca majalah tersebut, akhirnya ia mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tadi. Ia pun lalu merasa senang, dan sudah kepikiran ingin pulang ke rumah. Tapi saat itu juga, tiba-tiba seorang wanita berdiri dari tempat duduknya sambil menghantam meja. Wanita tersebut membentak-bentak pasangannya yang sedang bersamanya. Saat itu juga, wanita tersebut mengambil gelas yang berisikan kopi yang ada di depannya lalu menumpahkan ke baju pasangannya, lalu melempar gelas tersebut ke lantai. Pelayan lalu menghampiri pasangan ini, dan meminta agar mereka keluar. Mereka pun keluar. Saat peristiwa tersebut, pertanyaan yang terlintas dalam benak Lukman adalah bukan apa yang sedang terjadi dengan pasangan tersebut? melainkan mengapa gelas yang fungsinya sebagai wadah tempat air, digunakan sebagai pelampiasan amarah? Melihat kejadian tersebut, Lukman lalu berkesimpulan bahwa ternyata gelas mempunyai dua fungsi: sebagai wadah tempat air, dan sebagai pelampiasan amarah. Berkembanglah pertanyaan lagi dalam benak Lukman: “mengapa bisa wanita tersebut menggunakan gelas sebagai alat untuk pelampiasan amarah?”. Ternyata penyebabnya adalah lagi-lagi lingkungan (pasangannya). Setelah peristiwa tersebut, ia lalu beranjak dari tempat duduknya, membayar, lalu—dengan masih dalam perasaan senang—naik ke motornya hendak pulang. Dalam perjalanan, pikiran Lukman berkembang ke kebudayaan yang tak berwujud. Sikap istrinya atas keterlambatannya itu pula adalah kebudayaan. Sudah 5 kali ia telat pulang, dan sebanyak itu pula istrinya bersifat curiga terhadap suaminya atas keterlambatannya pulang. Lukman lalu menempatkan dirinya ke dalam konteks lingkungan dan menempatkan istrinya ke dalam konteks manusia yang menciptakan kebudayaan karena pengaruh lingkungan. Selanjutnya, timbullah pertanyaan: “Mengapa istrinya menciptakan kebudayaan perilaku kecurigaan terhadap dirinya?” Karena ia memang mengenal istrinya, ia lalu mendapatkan jawaban bahwa perilakunya itu adalah wujud dari rasa cintanya terhadap suaminya. Namun, wujud dari rasa cinta istrinya itulah yang tidak ia sukai. Muncullah ide Lukman untuk menciptakan budaya saling mempercayai antara ia dan istrinya.
Saat itu juga, tak terasa ia telah sampai di depan rumahnya. Ia lalu memasukkan motornya ke halaman rumah, lalu hendak masuk ke rumah. Saat memasuki rumah, ia melihat istrinya sedang duduk dengan ekspresi wajah sedih. Ia pun menghampiri istrinya, duduk di sampingnya, lalu meminta maaf atas kepergiannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Istrinya pun meminta maaf atas perilakunya tadi. Saat itu pula, Lukman menyatakan gagasan budaya saling mempercayai agar hal serupa tidak terulang lagi. Istrinya pun sepakat dengan gagasan tersebut. Terciptalah budaya saling mempercayai di keluarga Lukman Hakim. Tamat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar