Klik "ide judul blog" untuk membaca tulisan ide dari judul blog...

Kamis, 14 Juni 2012

Review Buku Prasejarah Sulawesi Selatan


Indonesia pada Zaman Plesitosen
sumber: google.

Bab I  Lingkungan Alam Sulawesi
Proses Terbentuknya Pulau Sulawesi
Menarik apa yang dikatakan penulis buku. Pada awal bukunya dikatakan bahwa uraian geologi dan sejarah geologi merupakan hal yang sangat mendasar untuk memahami kebudayaan prasejarah suatu daerah. Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa keadaan geologi suatu daerah yang sekarang tidaklah sama seperti dulu kala. Hal tersebut dikarenakan alam itu tidak bersifat statis melainkan bersifat dinamis. Oleh karena si pemilik kebudayaan (manusia) berinteraksi dengan alam untuk keberlangsungan hidupnya, maka tentunya manusia prasejarah berinteraksi dengan keadaan geologi konteks dahulunya. Untuk mengetahui konteks dahulu keadaan geologi suatu daerah, maka terlebih dahulu harus diketahui keadaan geologi masa sekarang daerah tersebut. Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh struktur penulisan arkeolog Indonesia, Soejono, pada buku Sejarah Nasional Indonesia 1 yang membahas kebudayaan Prasejarah Indonesia. Untuk sampai kepada penjelasan mengenai kebudayaan Indonesia, pada awal-awal bukunya terlebih dahulu dijelaskan keadaan geologi dan sejarah geologi Indonesia.
Pada paragraf ke dua buku ini, dijelaskan tentang proses terbentuknya pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi terbentuk pada zaman Pliosen, Pliosen Atas dan proses terbentuknya dimulai jauh sebelumnya. Sulawesi Barat dan Sulawesi Timur dahulunya terpisah pada zaman miosen. Disebabkan oleh penyebab pertama, yaitu tenaga endogen yang menyebabkan benua Australia bergerak secara terus menerus ke arah Utara, maka menyatulah lempeng Sulawesi Barat dengan lempeng Sulawesi Timur.
Sebagai tambahan, pembagian zaman yang digunakan dalam pembahasan ini ada dua, yaitu pembagian zaman berdasarkan ilmu Geologi dan pembagian zaman berdasarkan ilmu Arkeologi. Pembagian zaman berdasarkan ilmu Geologi dari yang tua hingga muda berturut-turut adalah: Archaeikum, Primer, Sekunder, Tertier, dan Quarter. Zaman Tertier terbagi menjadi: zaman Paleosen, Eosen, Oligosen, Miosen, Pliosen. Zaman Quarter terbagi juga menjadi: zaman Plestosen dan zaman Holosen. Pembagian zaman berdasarkan ilmu Arkeologi dari yang tertua hingga yang termuda berturu-turut adalah: Paleolitik, Mesolitik, dan Neolitik.
Pembahasan selanjutnya adalah jenis-jenis batuan yang terdapat di pulau Sulawesi. Berdasarkan pada pembahasan ini, Sulawesi dibagi menjadi tiga provinsi berdasarkan jenis batuan yang dikandungnya. Tiga provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Timur, dan Banggai-Sula. Lapisan batuan dasar Sulawesi Barat bagian selatan adalah batuan belah dan batuan ultra basis sedangkan bagian utara adalah batuan belah dan gneis. Di atas lapisan-lapisan batuan tadi adalah endapan-endapan laut, yaitu: batuan kapur, batu pasir, batu kersik dan batu sabak. Sulawesi Timur dominan terdiri dari batuan basis dan batuan beku ultra basis. Lapisan batuan dasar Banggai-Sula adalah metamorf yang bercampur granit putih dan merah jambu dan batuan efusif. Lapisan batuan di atasnya adalah batu sabak, batu pasir, konglomerat dan mergel.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai geomorfologi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan, pada sisi-sisinya dibatasi oleh pegunungan. Pada pertengahannya, yaitu kabupaten Soppeng, Wajo, Sidenreng dan Bone adalah dataran rendah. Dataran rendah tersebut diakibatkan oleh tenaga eksogen, yaitu pengikisan oleh angin, yang pada awalnya, dataran  tersebut terangkat dari dasar perairan karena pengaruh dari tenaga endogen. Pada paragraf ini, terdapat kata terban. Kata tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan terban adalah daratan yang terjadi karena proses keruntuhan. Terban tersebut dinamakan terban Walannae.

Iklim pada Zaman Plestosen
Zaman plestosen adalah zaman yang ditandai dengan menyebarnya es beberapa kali dari daratan-daratan tinggi seperti pegunungan ke daratan-daratan rendah. Oleh karena itu, zaman ini disebut juga zaman glasial. Di samping itu, es juga beberapa kali menyusut yang kemudian dinamakan zaman interglasial. Saat es menyebar luas, air laut menyusut sehingga daratan-daratan menjadi lebih luas.
Penelitian sebelumnya menghasilkan kesimpulan bahwa zaman glasial terjadi empat kali selama zaman plestosen yang diselingi dengan tiga kali zaman interglasial. Zaman glasial tersebut berturut-turut bernama: Zaman Gunz, zaman Mindell, zaman Riss, zaman Wurm. Penelitian selanjutnya menghasilkan pengetahuan bahwa zaman glasial terjadil 20 kali selama masa plestosen dengan zaman interglasial terjadi dengan jumlah yang sama.
Pada paragraf selanjutnya dibahas penyebab glasiasi pada daerah-daerah yang bergaris lintang—daerah tersebut tentunya termasuk Sulawesi. Penjelasan mengenai hal tersebut didasarkan pada teori-teori masa kini (Covey 1984; Broecker dan Denton, 1990). Menurut teori tersebut glasiasi di daerah garis lintang terjadi karena fenomena yang bersifat siklus dan non-siklus. Fenomena yang bersifat siklus yaitu perubahan intensitas penyinaran matahari, perjalanan bumi mengelilingi matahari dan kemiringan bumi. Fenomena yang bersifat non-siklus yaitu tertutupnya daratan dengan awan abu akibat aktivitas gunung berapi. Tertutupnya daratan tersebut mengakibatkan panas sinar matahari tidak sampai ke daratan.
Pada zaman plestosen ini, daratan-daratan di bumi menjadi semakin luas, begitupun dengan Indonesia. Pada zaman plestosen, nusantara (Indonesia) terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu paparan Sunda, paparan Sahul dan zona Wallacea. Paparan Sunda meliputi Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Palawan dan pulau-pulau kecil yang berada di sekitarnya yang saling menyambung. Paparan Sahul meliputi benua Australia dan Papua Nugini yang saling menyambung. Zona Wallacea meliputi pulau-pulau yang berada di antara kedua paparan tersebut, meliputi kepulauan Nusa Tenggara dari Lombok ke Timur, Maluku, Filiphina dan Sulu, serta Sulawesi. Pulau Sulawesi adalah pulau yang tidak pernah menyatu dengan pulau-pulau lain.

Flora dan Fauna
Pada paragraf pertama sub-judul ini, penulis menggunakan kata agihan. Kata tersebut kiranya tidak tepat untuk mewakili asal kata dari bahasa Inggris, yaitu spatial distribution. Hal tersebut dapat dipahami karena terkadang terdapat bahasa asing yang sulit untuk diserap ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan arti bahasa Inggrisnya, spatial distribution adalah distribusi ruang. Dengan digunakannya kata tersebut pada pernyataan: setiap makhluk hidup mempunyai spatial distribution, maka spatial distribution berarti pembagian ruang atau dapat juga berarti ekosistem.
Pada bagian ini, hal yang ingin dijelaskan adalah sistem kehidupan flora dan fauna. Fauna bergantung pada flora, dan flora bergantung pada iklim. Jika suatu daerah mempunyai iklim tropis, maka tumbuhan yang berpeluang tumbuh adalah tumbuhan yang dapat hidup pada iklim tersebut. Dengan adanya tumbuhan, maka hewan-hewan yang sumber makanannya adalah jenis tumbuhan tersebut akan bermigrasi ke daerah tersebut. Apabila iklim berubah menjadi iklim kemarau misalnya. Maka tumbuhan tadi akan mati dan tergantingan oleh tumbuhan yang berpeluang tumbuh di daerah yang beriklim kemarau. Dengan matinya tumbuhan tadi, maka hewan dengan sumber makanannya adalah tumbuhan tadi akan bermigrasi ke daerah lain. Sedangkan hewan lain yang menjadi sumber makanan tumbuhan baru tersebut akan berdatangan. Hal tersebut merupakan sistem kehidupan flora dan fauna. Hal tersebut juga yang merupakan faktor terbentuknya ekosistem (pembagian ruang).
Pembahasan selanjutnya pada sub-judul ini adalah sejarah vegetasi di Sulawesi Selatan. Selama zaman quarter, pada masa yang beriklim kering, Sulawesi dikuasai oleh hutan musim atau sabana. Dikatakan pula pada penjelasan ini bahwa bukti yang memperkuat pernyataan tersebut adalah ditemukannya fosil gajah purba Cabbenge. Dengan kata lain, sumber makanan gajah purba adalah tumbuhan-tumbuhan hutan musim atau sabana. Selain fosil tersebut, ditemukan juga fosil babi rusa Cabbenge. Kesimpulan lain yang ditarik dari penemuan kedua fosil tersebut adalah “Sulawesi merupakan daerah tujuan akhir di sebelah timur untuk fauna Asia dan daerah tujuan akhir di sebelah barat untuk fauna Australia”. Pernyataan tersebut berarti fauna purba Asia dan fauna purba Australia bermigrasi ke Sulawesi, kemudian punah di sana.

Bab II  Masa Awal, Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Pada awal bab dinyatakan bahwa pada zaman paleolitik, daerah Sulawesi sudah diokupasi oleh manusia. Bukti dari pernyataan tersebut adalah ditemukannya alat-alat batu dengan pengerjaan yang sederhana. Namun, penemuan fosil manusia pemilik kebudayaan tersebut belum ditemukan.
Pada paragraf ke tiga penulis buku menggunakan kata kanan untuk menunjukkan letak daerah pengandung artefak batu. Kata tersebut kiranya tidak tepat dan sebaiknya menggunakan arah mata angin (utara, selatan, timur atau barat). Pada paragraf ini juga dijelaskan mengenai Walanae. Namun pada penjelasannya, digunakan kata undakan. Kata tersebut kiranya tidak tepat, karena kata tersebut tidak baku. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) digital, kata undakan berasal dari bahasa Jawa. Kata yang dapat mewakili kata tersebut adalah tingkatan atau tingkatan daratan.
Walanae terdiri dari lima tingkatan daratan. Tingkatan tersebut mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi berturut-turut adalah tingkatan pertama dan ke dua ketinggiannya sekitar 25 m dari permukaan laut. Tingkatan ke tiga ketinggiannya sekitar 50 mdpl. Tingkatan ke empat ketinggiannya sekitar 75 mdpl dan tingkatan ke lima ketinggiannya sekitar 90 mdpl. Tingkatan ke tiga dan ke empat mengandung banyak fosil binatang dan alat batu paleolitik serta kalsedon dan jaspis. Umur binatang yang berasosiasi dengan alat-alat batu Cabbenge tersebut adalah zaman pliosen yang diberikan oleh Heekeren (1972). Namun, pemberian umur tersebut ditentang dengan hasil penelitian geologi. Dengan itu, penulis buku mengapresiasi hasil penelitian geologi tersebut.

Manusia Pertama
Secara garis besar pada sub-judul ini pembahasannya adalah manusia pendukung dari kebudayaan alat batu Cabbenge. Permasalahan yang dipaparkan secara tidak langsung pada paragraf pertama adalah apakah homo erectus di Jawa bermigrasi ke Sulawesi ataukah tidak? Jika homo erectus bermigrasi ke Sulawesi, itu berarti nenek moyang homo sapiens di Sulawesi adalah homo erectus di Jawa. Jika tidak, itu berarti homo erectus punah di Jawa. Akan tetapi, pulau Jawa juga tidak dapat dikatakan pulau yang terpencil sehingga membuat homo erectus tidak mengembara ke pulau Sulawesi ataupun pulau-pulau lainnya.
Pada paragraf-paragraf berikutnya dibahas tentang teori kesinambungan. Pendapat yang diapresiasi oleh penulis buku adalah pendapat Alan Thorne dan Milford Wolpoff (1992). Pandangan tersebut menyatakan adanya kesinambungan morfologis yang jelas, khususnya kemoncongan dan ukurang gigi belakang antara homo erectus di Jawa dan homo sapiens di Australia.
Hipotesis yang kemudian dirumuskan adalah kemungkinan besar alat-alat batu di Cabbenge adalah hasil kebudayaan homo sapiens. Kemudian hipotesis tersebut diperkuat oleh pernyataan Barstra (1991) yang menyatakan bahwa alat-alat batu Cabbenge merupakan hasil karya homo sapien, bukan homo erectus.
Pada paragraf ke dua dari terakhir sub-judul ini, kesimpulan ditarik berdasarkan alasan jumlah populasi manusia Wajak (golongan homo sapiens) lebih banyak frekuensi penyebarannya daripada frekuensi penyebaran pithecanthropus (golongan homo erectus). Kesimpulan tersebut adalah manusia awal yang menghuni pulau Sulawesi adalah homo sapiens. Namun setelah kesimpulan, kalimatnya tidak ilmiah. Kalimat tersebut adalah: “Dari pada kita harus menunggu penemuan mengagetkan yang belum diketahui kapan saatnya…”.
Dengan kesimpulan bahwa manusia pertama penghuni pulau Sulawesi adalah manusia Wajak, maka permasalahan muncul. Bagaimana cara manusia Wajak (dari Jawa) sampai ke pulau Sulawesi, sementara para ahli geologi telah sepakat tidak ada daratan yang menyambung (land bridge) antara Paparan Sunda (termasuk pulau Jawa) dengan pulau Sulawesi.

Industri Paleolitik Cabbenge
Pada paragraf awal dikatakan bahwa alat-alat batu Cabbenge belum diklasifikasi. Akan tetapi, Barstra (1978) telah mengusahakan untuk mengklasifikasi alat-alat batu tersebut. Pengklasifikasian sederhananya adalah alat-alat berpatina pada tingkatan daratan tertinggi berbeda dengan alat-alat Toala yang ditemukan di bagian yang dekat dengan sungai. Dalam hal tersebut, penulis buku mengapresiasi pengklasifikasian sederhana Barstra. Dengan itu, untuk membahas alat-alat batu Cabbenge, penulis memberi kategori alat-alat batu tersebut. Pengkategorian tersebut didasarkan atas dua alasan. Alasan pertama adalah pada alat-alat batu Cabbenge pengerjaannya berbeda. Ada yang pengerjaannya sederhana dan ada yang pengerjaannya rumit. Alasan ke dua adalah pada alat-alat batu Cabbenge ukurannya ada yang besar dan ada yang kecil. Alasan lain adalah adanya perbedaan frekuensi patina dan tingkat ketajamannya. Dengan itu kategori yang dibuat adalah alat batu inti dan alat serpih bilah. Alat batu inti adalah alat-alat batu yang berukuran besar, pengerjaannya sederhana, memiliki patina yang banyak dan ketajamannya sudah aus. Alat serpih bilah adalah alat-alat batu yang berukuran kecil, pengerjaannya rumit, memiliki patina yang sedikit dan masih memiliki tingkat ketajaman yang tinggi. Berdasarkan hal itu pula, umur relatif alat-alat batu tersebut dapat ditaksir. Alat batu inti lebih tua dari pada alat serpih bilah.
Namun, hal yang rasanya perlu dikritik adalah penggunaan kata untuk kategori alat batu pertama, yaitu alat batu inti. Batu inti bukanlah alat, melainkan artefak batu yang tidak dipergunakan sebagai alat. Batu inti (core) merupakan bahan untuk membuat alat batu, seperti alat serpih bilah.
        Pembahasan selanjutnya pada paragraf berikutnya adalah pengklasifikasian alat-alat batu yang lebih mendetail yang dilakukan oleh Soejono (1991). Kategori alat batu pertama dapat diklasifikasikan lagi menjadi kapak perimbas, kapak penetak dan kapak genggam. Kapak perimbas adalah alat batu yang diserpih hanya pada satu sisinya saja. Kapak penetak adalah alat batu yang diserpih pada kedua sisinya. Kapak genggam adalah alat batu yang kedua sisinya diserpih tanpa menyisakan kulit batunya (korteksnya).
     
Pola Hidup
     Pada paragraf pertama, penulis buku menyatakan pengakuannya bahwa merekonstruksi pola hidup manusia zaman plestosen di Cabbenge adalah rekonstruksi pola hidup yang terumit di Sulawesi Selatan. Alasannya adalah karena kebudayaan paleolitik Cabbenge adalah kebudayaan tertua dan oleh sebab itu asosiasi data yang jelas belum ditemukan hingga sekarang. Dalam perekonstruksian pola hidup manusia di Sulawesi, khususnya Cabbenge, penulis buku hanya menggunakan dua data pokok, yaitu data alat-alat batu dan data lingkungan. Kemudian penulis membandingkan situs Cabbenge dengan situs paleolitik yang ada di Jawa dengan alasan jarak yang tidak jauh antara kedua situs tersebut, serta keadaan lingkungan yang tidak jauh berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar