LINGKUNGAN ALAM SULAWESI
1. Proses Terbentuknya Pulau Sulawesi
Sejarah geologi dan uraian geologi, adalah hal yang mendasar yang harus diketahui untuk dapat memahami kebudayaan manusia prasejarah di suatu wilayah. Hal tersebut dapat dipahami, karena faktor yang mempengaruhi kebudayaan manusia (prasejarah/ modern) adalah lingkungan (geologi). Untuk memahami kebudayaan manusia prasejarah Sulawesi pun harus demikian.
Pulau Sulawesi bentuknya dahulu tidak seperti sekarang. Dahulunya, pulau Sulawesi adalah dua buah lempeng; lempeng Sulawesi Timur dan lempeng Sulawesi Barat. Kedua lempeng benua tersebut kemudian menyatu, sehingga terbentuklah seperti sekarang. Sejarah geologi terbentuknya pulau Sulawesi, dapat menjelaskan sejarah-sejarah pulau Sulawesi yang lainnya.
Tiga lempeng yang menjadi cikal bakal pulau Sulawesi, yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Timur, dan Banggai-Sula; masing-masing keadaan geologinya (batuannya) berbeda.
Sungai Walannae di Soppeng, adalah sebuah sungai yang dahulunya adalah pegunungan bawah laut. Gunung tersebut kemudian naik ke permukaan. Dari proses tersebut, terjadilah proses pengikisan (oleh angin, air, dll), sehingga terbentuklah Sungan Walannae.
2. Iklim Masa Plestosen
Pada masa plestosen, bumi mengalami fenomena menyebar-mencair es. Es tersebut bersumber dari puncak-puncak pegunungan, menyebar ke daratan yang lebih rendah. Zaman menyebarnya es disebut zaman es (glasial), dan zaman mecairnya es disebut sebagai zaman interglasial. Begitupun dengan Indonesia. Indonesia juga mengalami kedua zaman tersebut pada zaman plestosen. Pada zaman glasial, daratan menjadi lebih luas, oleh karena air laut menurun. Pada zaman interglasial, daratan kembali menyempit, dikarenakan air laut kembali naik.
Diakibatkan oleh penurunan air laut, maka kepulauan Indonesia menjadi lebih luas pada zaman glasial. Sehingga, pada zaman tersebut, Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu: Paparan Sunda, Zona Wallacea, dan Paparan Sahul. Paparan Sunda adalah sebuah pulau besar, yang sekarang adalah: Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Palawan, dan pulau-pulau kecil lainnya—yang dulunya saling menyambung. Paparan Sahul adalah sebuah pulau besar, yang sekarang adalah: Papua Nugini dan Australia—yang dulunya saling menyambung. Di antara dua daratan tersebut, terdapat daratan-daratan yang lebih kecil. Daratan-daratan yang lebih kecil ini dinamakan Zona Wallacea. Nusa Tenggara dari Lombok hingga Timor, Pulau Sulawesi, Pulau Maluku, dan Filipina termasuk Sulu. Dengan terpisahnya Zona Wallacea dari kedua paparan, maka jika makhluk hidup (hewan & manusia) ingin ke Zona Wallacea, ia harus melalui jalur air.
3. Flora dan Fauna
Landasan teori pada penjelasan ini adalah teori Whitten. Agihan suatu organisme biasanya dibatasi oleh habitat yang tidak cocok (air untuk organisme tanah atau daratan untuk organisme akuatik), iklim yang cocok atau adanya jenis yang menyebabkan ketidakberhasilan organisme itu untuk bersaing (Whitten, 1987).
Dari iklim yang telah dijelaskan di atas, maka vegetasi Sulawesi Selatan juga kurang. Oleh karena vegetasi kurang, maka Fauna juga kurang. Sebagian besar informasi tumbuhan purba didapatkan dari analisis seksama pollen dari endapan organik di dalam rawa-rawa dan danau-danau. Vegetasi yang ada di Sulawesi Selatan pada zaman plestosen adalah gambut. Hewan purba yang terdapat di Sulawesi Selatan adalah Babi Rusa Cabbenge dan Pigmy Stegodon.
MASA AWAL, BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN
Di Sulawesi Selatan, belum ditemukan fosil manusia pendukung zaman paleolitik. Tapi, disamping itu artefak-artefak batu sudah banyak ditemukan di Sulawesi Selatan. Salah satunya adalah di Cabbenge, Soppeng. Pinggiran sungai Walannae Soppeng adalah undakan. Di undakan inilah ditemukan artefak-artefak batu. Temuan artefak batu itu dibagi dua kelompok. Kelompok pertama yang terdapat di undakan tertinggi adalah kelompok artefak batu inti. Kelompok kedua yang terdapat di undakan terendah (dekat sungai) adalah kelompok artefak batu serpih bilah. Kelompok artefak batu yang pertama lebih tua daripada kelompok kedua. Hal tersebut dilihat dari artefak-artefak batu di kelompok pertama ketajamannya sudah aus diakibatkan proses transformasi yang lebih lama. Sedangkan kelompok kedua ketajamannya masih tajam (tapi tidak setajam awalnya dibuat).
Dengan artefak-artefak batu yang ditemukan di Cabbenge, Soppeng, maka pola hidup manusia purbanya dapat diketahui. Artefak-artefak batu yang ditemukan di Cabbenge seperti: kapak genggam, kapak penetak, kapak perimbas, serpih bilah, adalah artefak-artefak yang digunakan dalam proses mengolah makanan. Oleh karena itu, mata pencaharian utama manusia purba Cabbenge adalah mengumpul dan meramu makanan. Manusia purba Cabbenge memilih lokasi hunian, dekat dengan sumber air. Sama seperti manusia-manusia purba pada umumnya.
MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN
TINGKAT LANJUT
Zaman Holosen ditandai dengan berhentinya zaman glasial dan interglasial. Pada zaman Holosen inilah manusia hidup dengan pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Pola hidup tersebut sama dengan manusia di zaman paleolitik, akan tetapi sudah mengalami kemajuan. Zaman tersebut dinamakan mesolitik. Adapun iklim Sulawesi pada zaman holosen sama dengan iklim Sulawesi yang sekarang.
Sekedar perbandingan. Di Sumatera pada zaman mesolitik mengembangkan kebudayaan Hoabinhian (Kapak Sumatera); di Jawa megnembangkan kebudayaan tulan (bone culture); di Sulawesi sendiri, mengembangkan kebudayaan Maros Point, dan seni lukis di dinding gua (Rock Art).
Fosil manusia pendukung untuk masa mesolitik sudah ditemukan di Sulawesi Selatan, tepatnya di Leang Codong, Soppeng. Penemuan fosil di Sulawesi khususnya, Indonesia umumnya, belum dapat menjelaskan manusia serta kebudayaannya pada zaman mesolitik—baru hanya sekedar hipotesis.
MASA BERCOCOK TANAM
Manusia pendukung untuk zaman neolitik adalah suku Austronesia: ras Mongoloid dan Australomelanesid. Suku tersebut datang dari Taiwan, melalui Filiphina, lalu sampai ke Indonesia. Untuk Sulawesi sendiri, manusia pendukungnya adalah ras Mongoloid.
Zaman ini merupakan revolusi peradaban manusia. Dari pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan ke budidaya tumbuhan dan penjinakan binatang. Pola hidup bertani ini adalah cikal bakal terbentuknya peradaban manusia.
Sejauh ini, situs-situs neolitik yang terdapat di Sulawesi Selatan Adalah: Kamasi dan Minanga Sipakka (Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju), Mallawa dan Tallasa (Maros), Buttu Banua (Enrekang).
Peralatan-peralatan pada zaman neolitik di Sulawesi Selatan adalah Kapak Lonjong, Beliung Persegi, Beliung Bahu, Tembikar, Batu Ike, Alat Serpih, dll.
Adapun tehnik pembuatan tembikar ada tiga. Pertama adalah teknik pijit. Ini adalah tehnik pertama yang digunakan manusia dalam pembuatan tembikar. Tembikar dengan teknik pembuatan seperti ini permukaannya kasar. Permukaan bagian dalam lebih kasar daripada di bagian luar. Di permukaan juga terlihat bekas pijit-pijitan jari tangan. Teknik ke dua adalah dengan teknik tatap-landas. Alatnya adalah batu kerikil dan pemukul dari kayu. Tehnik ke tiga adalah dengan roda putar.
Batu Ike adalah alat yang dipergunakan untuk membuat pakaian dari kulit kayu. Batu ike mempunyai cekungan-cekungan persegi panjang. Kerapatan antar cekungan sesuai dengan tingkat kekasaran kulit kayu. Semakin halus kulit kayu, maka batu ike yang digunakan adalah yang cekungannya lebih rapat.
Pada zaman Neolitik di Sulawesi Selatan, masih ditemukan serpih. Artefak serpih tersebut ditemukan di kuburan pra-Islam Garassi. Artefak serpih tersebut diperkirakan fungsi adalah yang berhubungan dengan kesakralan. Selain alat-alat tersebut, terdapat juga perhiasan-perhiasan dari batu.
ZAMAN LOGAM
Pada zaman ini, manusia sudah mengenal logam sehingga terciptalah teknologi baru. Dengan teknologi baru tersebut, teknologi lama tidak sepenuhnya ditinggalkan. Seperti tembikar. Teknologi tersebut masih digunakan hingga sekarang. Zaman logam terdiri dari: zaman tembaga, zaman perak, dan zaman besi. Akan tetapi di Indonesia zaman perak tidak dikenal. Yang ada hanya zaman tembaga dan zaman besi.
Dengan munculnya teknologi logam ini, maka berkembang pulalah undagi-undagi. Undagi-undagi tersebut adalah orang-orang yang ahli dalam pengerjaan alat. Misalkan: pandai besi, pembuat kapak perunggu, pembuat perhiasan, dll. Oleh karena itu, zaman ini disebut juga sebagai zaman perundagian. Alat-alat yang dihasilkan pada zaman ini adalah Kapak perunggu, nekara dan moko, perhiasan.
TRADISI MEGALITIK DI SULAWESI SELATAN
Mega = besar. Litik = batu. Jadi berdasarkan terminologinya megalitik adalah kebudayaan batu besar. Kebudayaan batu-batu besar adalah kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan religi. Digunakan kata tradisi adalah karena kebudayaan megalitik masih dipertahankan sampai sekarang. Hal tersebut dikarenakan nilai yang dianut oleh manusia pendukungnya masih tertanam dengan kuat. Beberapa tradisi megalitik di Sulawesi Selatan adalah erong, liang, menhir, sarkofagus, lesung batu, dolmen, dakon, arca menhir, batu bergores, batu temu gelang.
(sumber: Buku Prasejarah Sulawesi Selatan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar